KOMUNITAS PANDEMIC YANG TAHU BERINISIATIF SURVIVE
Pandemic CoVid-19 menyerang seluruh dunia. Siapapun tak terhindar dari ancamannya. Dalam kondisi ini, tiap orang dihadapkan pada mau tetap hidup atau menyerah mati secara konyol? Jika bertahan, maka seperti apa tiap komunitas sosial dan pribadi menjalaninya.
Salah satu komunitas sosial adalah komunitas masyarakat adat. Komunitas adat memproteksi kelompoknya semasa pandemi Covid-19 dengan beragam cara. Selain ritual adat dan memanfaatkan obat tradisional untuk meningkatkan daya tahan tubuh, mereka bahkan membentuk ketahanan pangannya sendiri.
Hal itu diungkap dalam webinar yang diselenggarakan oleh Justice, Peace, and Integrity of Creation (JPIC) Kalimantan pada Sabtu (20/6/2020) lalu dengan tema Hidup Berkomunitas di Masa Pandemi. Hadir sebagai narasumber Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalimantan Timur Margaretha Seting Beran, pegiat JPIC Yakobus Dapa Toda, SS, aktivis HAM juga pembuat film Wensislaus Fatubun, pengampanye Greenpeace Arie Rompas, dan pengajar dan pengamat Sosiologi dari Universitas Goborne-Botswana, Prof. Dr. Gabriel Faimau.
Dalam paparannya Margaretha menjelaskan, bagaimana masyarakat adat Dayak bertahan di tengah pandemi. Sebagian besar desa-desa melindungi komunitasnya dengan berbagai cara, salah satunya adalah mengunci desa agar warga tidak sembarangan keluar dan masuk.
“Kami Bersama masyarakat melakukan pengamanan atau pembatasan di desa hinga pelosok-pelosok, sambil AMAN memberikan edukasi betapa bahayanya wabah ini terhadap komunitas adat,” kata Margaretha.
Menurut Margaretha, komunitas adat juga mengumpulkan bahan-bahan obat tradisional untuk mengobati yang sakit juga meningkatkan imunitas. Hal itu dilakukan agar menghindari rumah sakit karena kekhawatiran bila wabah yang menyerang di rumah sakit milik pemerintah maupun swasta tak sanggup mengobati.
Selain itu, pengalaman suku Dayak di Kalimantan Timur khususnya juga menunjukkan adanya pengetahuan asli terkait penyakit menular. Hal itu dilihat dari ritual adat yang sering dijalankan selama pandemi ini. Ritual adat itu disebut Lemaliq atau menyepi.
“Ritual itu digunakan untuk menghindari kerumunan atau menyepi di rumah dan terhindar dari kebisingan,” katanya.
Dalam kondisi darurat kesehatan saat ini, komunitas adat menjadi lebih kuat dan bertahan karena mereka mampu menyiapkan dan membentuk ketahanan pangannya sendiri. Saat ini, dimotori oleh ibu-ibu, banyak komunitas adat di Kaltim yang memanfaatkan kebun di pekarangan rumah untuk menyediakan kebutuhan pangan.
“Benih-benih yang selama ini disimpan itu ditanam dan dibagikan ke sesama anggota komunitas agar tidak perlu lagi keluar dari desa,” kata Margaretha.
Hal itu sejalan dengan penjelasan dari Arie Rompas yang mengatakan ketahanan komunitas adat bisa jauh lebih baik dari yang ada di kota. Namun sayang, saat ini dengan alasan pandemi pemerintah justru mewacanakan pembuatan cetak sawah yang dinilai akan menjadi bencana sosial juga dampak kebakaran lahan karena berada di atas lahan gambut.
“Aneh, karena saat seperti ini pemerintah justru memberikan insentif yang besar kepada perusahaan dan membuat program yang tidak masuk akal seperti cetak sawah atau food estate di Kalimantan Tengah,” ungkap Arie.
Arie menambahkan, yang dibutuhkan saat ini adalah perubahan sistemik dalam melihat persoalan lingkungan. Pasalnya, wabah penyakit menular ini tidak jauh dari perubahan iklim dan keluarnya satwa liar dari rumahnya, yakni hutan.
Hal serupa diungkapkan Prof. Dr. Gabriel Faimau. Menurutnya, dalam kondisi kritis pemerintah sangat mahir memainkan peran dengan menciptakan wacana. Berbagai wacana baru dimunculkan dengan alasan menjadi solusi, namun itu justeru yang cenderung memperkeruh keadaan.
“Corona menjadi kesempatan yang penting bagi manusia belajar untuk mati. Artinya membaca krisis sebagai sarana untuk membangun kesempatan baru. Bagaimana manusia mengubah krisis menjadi kesempatan melakukan inovasi dan mengambil inisiatif baru,” ungkapnya.