DAYAK VOICES FOR CHANGE

Klik Untuk Lebih Jelas : DAYAK VOICES FOR CHANGE
Klik Untuk Lebih Jelas : DAYAK VOICES FOR CHANGE
Klik Untuk Lebih Jelas : DAYAK VOICES FOR CHANGE
Klik Untuk Lebih Jelas : DAYAK VOICES FOR CHANGE

 

Sebuah upaya kontekstualisasikan keunggulan nilai-nilai  dalam konteks ingatan, kenangan, narasi dan solidaritas kehidupan orang Dayak di Kalimantan

oleh

Fr. Sani Lake dan Wensi Fatubun1

Nama resmi gerakan ini adalah Dayak Voices for Changes, sebuah gerakan keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan menuju perubahan berbasis nilai kultural dan kemanusiaan. Bentuk kegiatannya adalah mendokumentasikan ingatan dan narasi dengan memanfaatkan media untuk membangun ingatan kolektif (solidaritas) komunitas dalam rangka menghadapi tantangan penghancuran identitas kultural, nilai-nilai kemanusiaan, ekologi dan pelanggaran hak asasi manusia terutama pengabaian terhadap sumber-sumber kehidupan masyarakat adat Dayak, Kalimantan, Indonesia.

Proses mengingat dan mengenang

Dayak Voices berawal dari sebuah ide yang lahir dari refleksi atas pengalaman hidup dalam komunitas adat Dayak di Kalimantan, sehingga menjadi sebuah pilihan sadar yang harus diperjuangkan bersama antara Gereja dan masyarakat Kalimantan.

Berawal dari diskusi dan refleksi di Jakarta sejak akhir tahun 2010 dengan saudara Wempi Fatubun, pendiri PapuanVoices (www.papuanvoices.net), dan beberapa kawan lain. Ternyata ada kesamaan tertentu antara persoalan Papua dan Kalimantan dalam forum Keadilan, Perdamaian dan keutuhan Ciptaan Papua-Kalimantan. Kami masih mematangkan gagasan ini dalam diskusi-diskusi dari ruang kerja Fr. Sani Lake sampai di salah satu warung kopi di kota Palangka Raya. Kawan-kawan jaringan JPIC Kalimantan dilibatkan dalam mendiskusikan gagasan ini. Diskusi terfokus bersama putra-putri Dayak, kawan-kawan NGO’s dan masyarakat kampung di Kalimantan Tengah menjadi pendekatan awal kami untuk mengkritisi dan mematangkan berbagai macam gagasan yang muncul tentang Dayak Voices. (bdk. F. Budi Hardiman, “Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Problem Modernitas”. Kanisius 2013, hal 185). Inilah langkah awal dari sebuah proses mengingat.

Ingatan ini adalah ingatan atas realitas atau pengalaman nyata, dan hidup dari manusia sendiri yaitu ingatan yang menyakitkan, ingatan yang mengerikan, ingatan yang tak terlupakan oleh manusia Dayak sebagai subyek yang bereksistensi. Ingatan ini hendaknya harus selalu dikenang oleh pribadi dan komunitas agar peristiwa ketertindasan yang dialami jangan terulang lagi. Memoria sebagai kategori dasar alasan-kritis praktis. Ingatan memiliki dua tradisi yaitu pemikiran (ratio) dan sejarah. Ingatan adalah seperti organ bersejarah yang ada dalam realitas sejarah, dan berbeda dengan kenangan adalah aspek psikologis yang berhubungan dengan perasaan dan emosi (afeksi) yang ada atau tersimpan di dalam ingatan. Jadi ingatan berhubungan dengan ratio di mana melihat realitas sejarah dalam kehidupan nyata manusia, sehingga mendorong lahirnya kenangan yang didasarkan pada pengalaman sejarah yang ada di dalam ingatan. Kenangan di komunitas Dayak harus mendorong ingatan orang Dayak sehingga membuahkan refleksi bersama utnuk membebaskan diri dari situasi ketertindasan setelah mengalami peristiwa ini. Ada dua tradisi kecerdasan ingatan, yaitu refleksi filosofis dan teologis yang menggali makna melalui metode hermeneutika sebagai hermeneutika eksistensial-ontologis. Ingatan menyebabkan pikiran subjektif dari orang tersebut dan dihubungkan dengan kenangan sehingga mendorong sebuah refleksi dengan penalaran analitis, kritis dan obyektif. Jadi dapat disimpulkan bahwa ingatan adalah bagian dari intelektul - rational, sedangkan kenangan adalah bagian dari aspek psikologis dan spiritual-iman yang lebih dalam dan misteri.

Hal utama yang muncul dalam proses penemuan dan pematangan gagasan ini adalah pengalaman komunitas Dayak akan adanya krisis identitas budaya khusus pada generasi Dayak sekarang. Krisis ini menjadi sebuah titik lemah di Kalimantan ketika masuknya investasi ekstraktif yang melumpuhkan kehidupan baik di bidang ekologi dan kemanusiaan. Dan masyarakat Dayak sendiri secara budaya tidak siap menghadapinya. Refleksi lebih tajam kemudian menemukan, bahwa 1) dalam konteks masyarakat Dayak, adanya masalah dibalik krisis ekologi yang paling serius dihadapi yaitu masalah manusia yang tak bermoral dan krisis nilai kemanusiaan. 2) dan keyakinan sebuah nilai akan kehidupan suatu komunitas atau daerah yang sejahtera, adil dan makmur, pertama-tama dan terutama harus diselenggarakan menurut keutamaan-keutamaan moral, dan bukannya hukum positif atau hukum negara. Maka Pendidikan adalah sarana proses mengingat yang tepat untuk menghasilkan warga negara yang memiliki keutamaan-keutamaan moral. Dan tak pelak lagi bila keutamaan moral kristiani – iman, harap, kasih - menjadi rujukan utama sebagai roh penggerak yang diterjemahkan dalam konteks kearifan local. (Lihat: Dr Jojo Fung SJ, “An Asian Liberation Theology of Sacred Sustainability: A Local Theology In Dialogue with Indigenous Shamans,” Asian Horizon Vol. 4, no. 2, (December, 2010), 401-415). Disinilah kami ingin menjadikan Dayak Voices sebagai locus untuk mengkontekstualisasikan nilai-nilai Injili.

Ini hanyalah sebuah gagasan yang lahir dari diskusi dan refleksi bersama, tapi mendesak kita untuk bertindak dalam keseharian hidup.

Sehingga Dayak Voices adalah sebuah proses mengingat masyarakat Dayak untuk membangun sebuah memoria passionis (lihat: Johann Baptist Metz: Faith in History and Society: Toward a Practical Fundamental Theology; A New Translation by J. Matthew Ashley. November 2007) dan melihat hubungan dialektis antara kekuasaan dan pengetahuan yang menciptakan situasi ketertindasan.

Memoria passionis merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sejarah penindasan dari kekuasaan yang terartikulasi ke dalam pengetahuan, dan sebaliknya pengetahuan terartikulasi ke dalam kekuasaan. Dengan kata lain, kekuasaan tak hanya punya “relasi” dengan pengetahuan, melainkan kekuasaan “terdiri atas” pengetahuan , sebagaimana halnya pengetahuan juga “terdiri atas” kekuasaan. Jadi, tidak ada pengetahuan yang bebas nilai, yang bebas dari kepentingan kekuasaan. Karena itu, tugas Gereja dan komunitas adat Dayak adalah membantu membangkitkan “pengetahuan-pengetahuan yang tertindas” (lihat: Gordon, C. (peny.) (1977). Power/knowledge: Selected interviews and other writings 1972-1977 by Michel Foucault. New York: Pantheon Books). Pertanyaan, bagaimana masyarakat Dayak memiliki memoria passionis sebagai upaya untuk membangkitkan pengetahuan-pengetahuan komunitas Dayak yang tertindas?

Di sini Pendekatan Dayak Voices adalah 'pendekatan atas pengalaman hidup manusia Dayak dalam situasi konkretnya, terkait dengan situasi sosial, politik dan ekonomi dengan berdasarkan pada memoria passionis yang dialami dalam hidupnya, terutama orang-orang yang menderita rasa sakit dan kekerasan, karena politik, ekonomi, ideologi dan agama. Tujuan utama dari formulasi gerakan Dayak Voices adalah sebagai upaya pembebasan manusia dari segala penindasan, baik politik, ekonomi, sosial, budaya dan agama berlandaskan pada visi eskatologis, sehingga pengalaman kemanusiaan yang harus terus dingat atau dikenang secara bersama-sama sebagai komunitas. Kami yakin mengingat dan mengenang bersama-sama sebagai komunitas yang tertindas adalah bentuk dari solidaritas (baca: ingatan kolektif). Dalam buku “Faith in History and Society”, Johann Baptist Metz menegaskan memoria sengsara , wafat dan kebangkitan Yesus adalah pusat (centrum) memoria yang bersifat universal untuk umat manusia. Dalam karyanya Metz menekankan pentingnya refleksi atau studi tentang Allah. Johann Baptist Metz menulis,

"...bicara tentang Allah sama dengan bicara tentang orang-orang yang berseru mohon diselamatkan, khususnya bagi mereka yang menderita secara tidak adil, bagi para korban, yang tersingkir, terbaikan dalam sejarah umat manusia”.

Bagi Metz, bicara tentang Allah berarti bicara tentang visi dan janji keadilan serta pembebasan sejati bagi semua umat manusia, baik yang telah tiada, yang ada sekarang maupun yang akan datang. Jadi menurut Metz, memoria selalu berkaitan dengan sejarah sebagai tempat (locus) utama di mana Tuhan berbicara dan berkomunikasi dengan manusia, khususnya cerita-cerita yang mengerikan: cerita tentang sejarah penindasan, cerita tentang sejarah kekerasan, dan sejarah kemiskinan. Dalam arti Allah sebagai subyek cerita eskatologis masalah manusia yang telah, sedang dan akan terjadi dalam sejarah manusia. Sikap atau kebajikan yang berasal dari teologi Metz adalah penebusan atau pembebasan dan emansipasi terhadap orang lain. Penebusan adalah aspek spiritual, pembebasan dan emansipasi adalah aspek tindakan nyata manusia dalam proses politik. Tindakan pembebasan dan emansipasi adalah tindakan universal yang harus diwujudkan melalui bidang sosial, politik, dan ekonomi. Peran Gereja di dunia ini, terutama kepada orang-orang yang terlibat dalam dunia politik dan ekonomi. Gereja (secara institusi) dan orang Kristen secara pribadi maupun bersama harus mengambil inisiatif untuk membantu orang-orang yang sedang dililit masalah. Gereja dan orang Kristen harus melakukan tindakan efektif dalam mengupayakan pembebasan bagi sesama yang hidup dalam penderitaan politik, ekonomi, sosial - budaya. Karena tindakan tersebut merupakan implementasi dari iman. Visi Metz tentang Gereja yaitu bahwa Gereja secara hakiki adalah Gereja yang tidak hanya mencakup wilayah (teritorial) dan kebangsaan (etnis) tetapi Gereja universal yaitu sebagai umat Allah yang baru, di mana dapat terjalin solidaritas dan rasa kebersamaan untuk saling membantu meringankan beban penderitaan sesama. Kemudian Metz menegaskan bahwa dogma sebagai suatu ingatan (ricordo) berisiko tidak bermakna, jika dogma tidak direinterpretasi atau re-hermenutika. Iman adalah prinsip kenangan yang merupakan jawaban atas pertanyaan yang terus-menerus muncul dalam pikiran manusia tentang janji Tuhan akan zaman akhir (parusia) yang "sudah" dan "belum" terjadi di dalam terang iman, harapan dan kasih. Ketika dogma tidak memiliki kemampuan untuk mereinterpretasi atau membangun hermenutika yang baru atas makna iman dalam hidup manusia, yang harus merespon realitas pengalaman konkret manusia, maka dogma menjadi suatu ajaran hampa yang tak berarti dan menjadi ideologi belaka.

Narasi: Sebuah upaya bersama untuk kebudayaan dan kemanusiaan

Dari proses menemukan dan mematangkan gagasan Dayak Voices sebagai proses mengingat dan mengenang, kami akhirnya sepakat bahwa Dayak Voices adalah upaya bersama untuk kebudayaan, kemanusiaan dan keutuhan ciptaan, di mana, putra-putri Dayak bercerita tentang dirinya dan komunitasnya kepada dunia, dan mencoba mengubah dunia dari perspektif Dayak. Dayak, baik itu persoalan maupun solusinya, harus “dilihat” dari “mata” orang Dayak.

Narasi adalah model pendekatan yang kami pilih untuk mengungkapkan identitas kebudayaan, nilai-nilai kemanusiaan, pengalaman dan pengetahuan dari komunitas Dayak yang selama ini dibungkam, bahkan diabaikan, sebagai dampak dari dominasi dan kekuasaan pengetahuan dari kaum berkuasa (penindas) dan intruksi kebudayaan lain yang dianggap lebih unggul.

Berbicara tentang narasi yang merupakan narasi dari pengalaman kemanusiaan komunitas Dayak. Narasi Dayak ini menghadirkan ingatan dan kenangan yang hidup dan dihidupi oleh komunitas Dayak sehingga harapan kepada orang lain. Narasi tentang pengalaman kemanusiaan yang terjadi dalam sejarah (di tempat tertentu) di antara narator (pencerita) dan pendengar. Melalui narasi pencerita atau narator mengkomunikasikan pengalaman kemanusiaannya dengan pendengar, sehingga membawa suatu transformasi bagi kehidupan si pendengar. Misalnya, ketika membandingkan kisah tentang Yesus historis dan kisah tentang Yesus setelah bangkit yaitu Kristus bukanlah sutau kisah yang sama, melainkan kisah yang berbeda. Maka kisah atau cerita (narasi) antara "Yesus sejarah" dan "Kristus kerygmatis" tetap merupakan suatu dilema. Maka kedua kisah ini meninggalkan banyak pertanyaan yang tak dapat dijawab secara tuntas, namun memberikan makna iman yang mendalam kepada para pendengar (audience).

Dayak Voices dalam gerak langkahnya mengutamakan nilai kemanusiaan. Karena kemanusiaan itu sendiri adalah sebuah proses menjadi, ibarat sebuah perjalanan yang tak punya sampai, sebagaimana sudah dirujukkan oleh Yesus Kristus sendiri dalam perintah akan hukum cinta kasih. Kemanusiaan tidak lahir dari ketiadaan. Dalam ketika, setiap kita mau masuk ke dalam kemanusiaan. Kemanusiaan itu bukan lahir seiring dengan kelahiran seorang anak manusia. Kemanusiaan itu adalah sebuah proses menjadi. Lahir dari perjumpahan proses kehidupan.

Selain kemanusiaan, nilai kebudayaan juga menjadi landasan beraktivitas dalam Dayak Voices. Kebudayaan yang diangkat adalah nilai kearifan local yang sudah ada dan hidup dalam masyarakat asal/asli/adat Dayak khususnya. Yang hemat kami adalah benih-benih injil yang memanggil setiap orang untuk menemukannya kembali dan menghidupkan serta memberdayakannya sebagai roh dalam perjuangn pemulihan hak hidup dan menjaga keutuhan ciptaan. Nilai-nilai itu ditemukan bersama grass-rot dalam refleksi bersama dan kelompok diskusi terfokus di kampung, lokakarya penguatan hukum adat dan pendidikan hukum rakyat.

Konsep “upaya Dayak untuk Kemanusiaan dan kebudayaan” ini sebagai ruang bagi orang Dayak untuk merancang sendiri proses pembelajaran mereka, proses advokasi mereka, untuk menjadi pemimpin komunitas lokal dimana mereka hidup atau berasal dan sekaligus menjadi wirausaha yang berwawasan lingkungan (green entrepreneur) serta berbagai ide lain. Keterpaduan antara tangan, hati, otak, dan rumah adalah inti dari proses pendidikan, advokasi dan aktivitas mereka yang terdefinisi dalam nilai-nilai kebudayaan Dayak.

Pertama-tama, upaya ini dirintis sebagai bagian dari upaya orang Dayak untuk membebaskan diri dari keterjajahan (dekolonisasi) ilmu pengetahuan yang “jakartasentris”, dengan mengharapkan suatu kehidupan masa depan berlandaskan budaya dan ekologi berkelanjutan, sekaligus memperkuat kemampuan daya-pulih (resilience) orang Dayak. Hal yang paling penting adalah bahwa keseluruhan proses dalam program ini adalah sebuah proses pembelajaran mereka sepenuhnya yang merupakan proses penemuan sendiri (self-discovery), proses 'tidak belajar' (unlearning), proses belajar bersama (co-learning), dan berdasarkan dorongan dari dalam diri sendiri(intrinsic motivation) (lihat: Freire, Paulo (1981). Education for critical consciousness. New York: Continuum. Fuentes, Marta & Andre). Menyentuh semesta pedalaman batin setiap anggota komunitas adalah hakiki untuk menemukan pilihan-pilihan yang lebih memiliki kekuatan dan dampak besar dalam jangka-panjang ke masa depan orang Dayak.

Kemanusiaan dan kebudayaan Dayak dalam pergerakan Dayak Voices adalah upaya kami untuk mengkontekstualisasikan nilai-nilai injilih.

Solidaritas: Ingatan kolektif, proses penemuan diri dan tindakan

Disini kami juga ingin membangun kemanusiaan dari sisi produksi wacana dan persepsi. Ini sebagai ide dan upaya untuk penemuan diri, sehingga kesatuan pengetahuan dan pengalaman itu penting.

Bagaimana pun wacana selalu bisa merupakan awal yang baik untuk suatu tindakan yang efektif. Hal yang mungkin perlu kami pertimbangkan dalam pengembangan program Dayak Voices ialah upaya agar kita tidak berhenti pada semacam "pencitraan" saja. Artinya, usaha kita mesti lebih mengakar, dari wacana menuju tindakan efektif untuk memulihkan martabat dan kebudayaan orang Dayak yang selama ini terpinggirkan, bahkan dibungkam. Dari segi ilmiah, perlu juga dijaga aspek epistemologi pengetahuan orang-orang yang berwacana tentang Dayak. Pengetahuan yang bersumber dari pengalaman langsung selalu berbeda secara substantif dan empatik dibandingkan dengan pengetahuan yang bersumber dari tulisan orang lain atau dari apa "kata orang".

Hal lain yang kami pikirkan selama ini, ialah bagaimana agar orang Dayak tidak mengalami nasib buruk seperti warga lain di Indonesia. Waktu zaman kemerdekaan, tokoh-tokoh kemerdekaan melakukan lobby ke mana-mana sehingga mendapat simpati segala bangsa sehingga merdeka. Tetapi setelah merdeka, ternyata warga Indonesia sendiri saling menindas dan menghancurkan sesamanya sampai sekarang ini. Ini menunjukkan bahwa suatu kemerdekaan ataupun konsistensi perjuangan martabat, orang Dayak mesti membangun diri dari dalam. Pemberdayaan orang Dayak sendiri mesti digenjot habis-habisan. Sehingga suara orang luar tentang Dayak itu penting, tetapi jauh lebih penting lagi bagaimana orang Dayak memiliki self image yang positif dan memberdayakan diri untuk mengembangkan martabatnya.

Media film sebagai ruang untuk ingatan, kenangan, narasi dan solidaritas

Skema Proses aktivitas DAYAK VOICES

Proses menjahit

+

Ingatan/ Kenangan ---------------Narasi -----------------------Solidaritas

Media film sebagai ruang dalam produksi dan distribusi ingatan, kenangan, narasi dan solidaritas! Mengapa film menjadi mediumnya? Saat ini, media audio visual adalah alat yang sangat efektif untuk bernarasi tentang kemanusiaan dan kebudayaan Dayak, dan efektif juga dalam membangkitkan pengetahuan-pengetahuan komunitas Dayak sebagai kaum tertindas (bdk: Heriyanto, Ariel (2003). ‘Public intellectuals, media and democratization: cultural politics of the middle classes in Indonesia,’ dalam Ariel Heriyanto & Sumit K. Mandal (peny.). Challenging Authoritarianism in Southeast Asia: Comparing Indonesia and Malaysia. New York: RoutledgeCurzon, hal. 24-59).

Produksi berita dan pesan melalui media lokal dan nasional tentang Dayak di Indonesia pada umumnya memang ada, tetapi seringkali itu mengabaikan nilai-nilai hidup dan berharga yang ada dan hidup dalam masyarakat akar rumput yang sebenarnya ramah pada lingkungan dan berwajah damai kepada manusia (lih: Antony Easthope & Kate McGowan (eds). A Critical and Cultural Theory Reader. Buckingham: Open University Press, hal. 21-30). Media kurang memberikan ruang pemberitaan kepada perspektif Dayak, bahkan produksi pesannya sangat diskriminatif dan mengandung rasialisme terhadap orang Dayak. Kami yakin bahwa terikatnya teks pada ideologi tertentu bukan pada apa yang dikatakannya, tapi justru pada apa yang tidak dikatakannya. Suatu teks mengandung kebungkaman-kebungkaman (silences) tertentu, gaps tertentu dan absences tertentu, sehingga Dayak Voices menjadi sebuah media alternative dengan menggunakan film sebagai pilihan yang mudah dan terjangkau oleh publik untuk penyebaran nilai-nilai kemanusian dan kebudayaan, serta membuat kebungkaman-kebungkaman itu ’berbicara (lihat: Eagleton, Terry (2002). Marxism and Literary Criticism. London: Routledge).

Meski untuk kepentingan tersebut, anak-anak muda dalam pergerakan Dayak Voices harus dipersiapkan. Mereka diberi bekal, khususnya bagaimana membangun metode refleksi, life in di komunitas Dayak, belajar story-telling, strategi distribusi dan teknik mengorganisir pesan/ kampanye, istribution Strategy yg benar, belajar bikin film dokumenter, teknik art-film, reporting in a Conflict Area, video distribution mechanism, ccreening and publication of Dayak Voices. Ini hanya modul yang kami harapkan menjadi pra kondisi untuk anak-anak muda Dayak mampu memperjuangkan kemanusiaan dan kebudayaan Dayak.

Akhirnya, kami menyadari bahwa Dayak Voices adalah bagian yang tak terpisahkan dari sebuah misi “Go For & together with Borneo Program” yang dirancang. Sesungguhnya itu adalah awal dari sebuah gerakan ‘datang ada bersama’ masyarakat Dayak, menemukan bersama cerita/kisahnya dan nilai hidup di balik kisahnya (God-Talk) dan bersamanya bergerak bercerita kepada dunia (God-Walk) bagaimana mengubah dunia dari perspektif Dayak secara adil dan damai dengan tanpa merusak keutuhan ciptaan yang ada.

 

Referensi:

  • Eagleton, Terry (2002). Marxism and Literary Criticism. London: Routledge
  • Gordon, C. (peny.) (1977). Power/knowledge: Selected interviews and other writings 1972-1977 by Michel Foucault. New York: Pantheon Books
  • Dr Jojo Fung SJ, “An Asian Liberation Theology of Sacred Sustainability: A Local Theology In Dialogue with Indigenous Shamans,” Asian Horizon Vol. 4, no. 2, (December, 2010)
  • Heriyanto, Ariel (2003). ‘Public intellectuals, media and democratization: cultural politics of the middle classes in Indonesia,’ dalam Ariel Heriyanto & Sumit K. Mandal (peny.). Challenging Authoritarianism in Southeast Asia: Comparing Indonesia and Malaysia. New York: RoutledgeCurzon.
  • Freire, Paulo (1981). Education for critical consciousness. New York: Continuum. Fuentes, Marta & Andre
  • Antony Easthope & Kate McGowan (eds). A Critical and Cultural Theory Reader. Buckingham: Open University Press.