AEREOPAGUS MODERN

Klik Untuk Lebih Jelas : AEREOPAGUS MODERN
Klik Untuk Lebih Jelas : AEREOPAGUS MODERN
Klik Untuk Lebih Jelas : AEREOPAGUS MODERN
Klik Untuk Lebih Jelas : AEREOPAGUS MODERN

 

Kepada Allah Yang Tidak Dikenal

Homili: Perayaan HUT ke-20 VIVAT Internasional

PAUL RAHMAT, SVD

Kisah tentang pohon yang besar berawal dari benih yang kecil. Sebelum tanam di dalam tanah, benih yang kecil itu ada dalam pikiran dan mimpi seorang penabur. Sang penabur atau petani telah melihat potensi yang ada didalamnya untuk tumbuh dan membayangkan pertumbuhannya.

Demikian halnya VIVAT Internasional. Sebuah benih kecil telah ditanam 20 tahun lalu oleh dua kongregasi yang didirikan St. Arnold Janssen - SVD dan SSpS. Hari ini, pohon yang bernama VIVAT Internasional itu telah bertumbuh dari dua menjadi 12 kongregasi; beranggotakan sekitar 25.000 orang – para suster, bruder dan imam, frater, – yang bekerja di seluruh dunia pada 120 negara.

Pada 18 November 2000, pemmpin umum Tarekat SSpS dan SVD mengumumkan pendirian LSM VIVAT Internasional. Dalam surat edaran terkait pendirian lembaga tersebut, kedua pemimpin umum tarekat itu menulis: “Kami mengantisipasi, lembaga ini akan memberi peluang kepada kita untuk bersaksi pada apa yang disebut oleh Paus Yohanes Paulus II sebagai “Areopagus modern.”

Bersaksi pada ‘Areopagus modern.’ Kata Areopagus mengajak kita untuk sedikit berimajinasi tentang kota Athena duaribu tahun yang silam. Sekitar tahun 51, Rasul Paulus datang ke kota Athena. Di situ ia berdebat, berdiskusi, dan berwacana di ruang parlemen Republik negara kota Athena yang disebut Areopagus. Tema pidatonya, boleh dibilang, cukup provokatif : “Kepada Allah yang tidak dikenal.” Paulus berbicara di depan anggota parlemen Areopagus, katanya:

“Ketika aku berjalan-jalan di kotamu dan melihat-lihat barang-barang pujaanmu, aku menjumpai juga sebuah mezbah dengan tulisan: Kepada Allah yang tidak dikenal. Apa yang kamu sembah tanpa mengenalnya, itulah yang kuberitakan kepada kamu”(Kis 17:32).

Paulus bersaksi tentang Yesus dan kebangkitan orang mati yang diperbuat oleh Allah yang tidak dikenal oleh masyarakat Athena; Allah itu adalah yang hidup dan yang memberi kehidupan kepada setiap orang dan semua yang ada. Itulah Allah yang di imani oleh St. Arnold Janssen sebagai VIVAT DEUS unus et trinus in cordibus nostris.

Seperti rasul Paulus, anggota VIVAT memberi kesaksian tentang Allah yang hidup di arena atau panggung areogpugs modern. Seperti apa dan di mana kita menjumpai areopgus modern itu?

Areopagus modern adalah “ruang-ruang publik” di mana kita hadir dan menyuarakan keprihatinan kaum yang tidak bersuara, para korban ketidak-adilan, yang menderita dan tertindas akibat kebijakan-kebijakan sosial, ekonomi, politik dan budaya yang melenggengkan kekuasaan dan kekerasan; areopgaus modern itu bisa saja: balai Pertemuan musyawara desa, gedung-gedung DPR di daerah-daerah atau Gedung senayan di Jakarta, ataupun ruang-ruang sidang umum di Perserikatan Bangsa-bangsa. Areopagus pada zaman modern adalah media sosial dan teknologi digital.

Di ruang-ruang publik seperti itulah, Anggota VIVAT hadir dan memberi kesaksian tentang Allah yang tidak dikenal atau tidak dihiraukan oleh kaum elite politik dan ekonomi. Wajah Allah yang tidak dikenal pada zaman modern ini tampak pada wajah para pengungsi, orang-orang yang lapar, tuna wisma, petani, nelayan sederhana, perempuan, kaum difabel, yang terpasung, LGBT yang seriang mengalami penolakan dan penyiksaan, buruh migran, masyarakat adat, korban human traffikcing, tanah, air, udara yang tercemar, hutan dan alam yang rusak.

Dua minggu lalu, pada waktu seminar on-line yang diselenggarakan oleh VIVAT Indonesia, Sr. Esto bercerita bahwa TRUK-F telah berjuang untuk membuat beberapa Perda di Kab. Sikka guna melindungi hak-hak kaum perempuan dan anak-anak dari kekerasan dan pelecehan seksual. Saat ini, para aktivis dan organsiasi-organsiasi perempuan di Indonesia sedang memperjuangkan untuk pengesahan RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual) di tingkat nasional. Itulah salah satu bentuk kesaksian anggota VIVAT pada ranah publik, di panggung Areopagus modern.

Akan tetapi, kesaksian di ruang publik hanyalah satu sisi dari koin yang sama. Sisi yang lain dari mata uang adalah kehadiran dan keterlibatan dalam realitas kehidupan. Ambil bagian dalam duka dan kecemasan orang-orang yang jatuh ke dalam tangan-tangan penyamun modern yang merampas hak hidup, kebebasan dan martabat orang-orang kecil dan miskin.

Kisah tentang Orang Samaria yang murah hati (Luk 10: 25-37) memberi inspirasi dan pandangan yang segar tentang hal ini. Ada tiga orang yang berjalan lewat dan melihat seorang yang tergeletak di pinggir jalan. Seorang imam dan Levitan, dari jajaran pejabat Bait Allah. Mereka melihat si korban, tetapi berjalan lewat tanpa berbuat apa-apa. Mungkin saja ada alasan macam-macam yang membuat mereka tidak menolong si korban. Mungkin ada agenda yang mendesak yang harus dilakukan, sehingga tidak ada waktu membantu; Mungkin saja mereka pikir, inikan bukan tugas saya. Saya ‘kan pejabat atau petugas bait Allah; atau melihat korban yang dirampok itu adalah orang asing yang tidak dikenal. Jangan-jangan dicap sebagai gerbong pemberontak atau teroris yang berbahaya, jika menolong orang asing itu.

Orang Samaria yang berjalan lewat di tempat itu dan melihat si korban, mengambil sikap dan tindakan yang berbeda. Ia turun dari keledainya; mendekati dan menyapa si korban; kemudian mengangkatnya ke atas keledai tunggangannya; lalu membawanya ke rumah penginapan untuk dirawat; Ia memberikan sebagian uang sakunya untuk biaya perwatan korban yang menderita itu. Orang Samaria itu telah berkorban banyak: waktunya, biaya perjalanan, dan agenda perjalanan bisnisnya yang terganggu; Ia juga berani ambil resiko atas keamananan dan keselamatan dirinya. Ia bisa saja diserang oleh komplotan penjahat karena dianggap berpihak pada musuh.

Tentu saja, ada banyak pesan kehidupan dari kisah tentang orang Samaria baik hati ini. Saya cuma menggarisbawahi satu hal ini. Kehadiran dan keterlibatan kita sebagai anggota VIVAT dalam realitas. Kita dituntut untuk hadir dan terlibat dalam kehidupan yang nyata, dalam situasi keprihatinan dan kecemasan, duka dan penderitaan orang-orang yang jatuh ke dalam tangan penyamun dan perampok modern; rela berkorban – entah waktu, agenda bisnis dan kepentingan pribadi, materi dan bahkan kehormatan pribadi dan harga diri. Berani ambil resiko atas keselamatan pribadi demi kebaikan orang-orang yang perlu dibela hak dan martabatnya.

Ada banyak contoh tentang hal ini. Salah satunya adalah perisiwa yang sedang terjadi di Kalimantan Timur. Pada hari-hari ini, Br. Yulius kirim info kepada kita, anggota VIVAT-JPIC/JPR Indo-Leste. Masyarakat adat Dayak Kayan di Desa Long Meah Kab. Kutai Timur sedang berjuang untuk mendapatkan hak-haknya terhadap perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit, PT. Sumbur Abdi Plantation. Mereka berdemo, mengajukan 3 tuntutan kepada pihak perusahaan: membebaskan Kades Long Melah yang dituduh atas dugaan melakaukan tindakan kriminal; bertanggujawab atas pencemaran sungai Gesek karena limbah pabrik indsustri, dan transparan terhadap pembangunan inti plasma Sawit. Masyarakat Long Melah menduduki lokasi perusahaan dan menyegel pabrik.

Terkait kasus tersebut, Br. Yulius menulis:

“Saat ini saya sudah bergabung dengan masyarakat Long Melah untuk melakukan demo besar-besaran, menuntut manajemen PT. Astra memenuhi kewajibannya terhadap tuntutan masyarakat…. Malam ini saya bersama masyarakt tidur dilokasi pabrik.” Yulius menyebut identitasnya: Br. Yulius Sudir SVD, Koordinator JPIC keuskupan Agung Samarinda dan Anggota VIVAT Internasional-Indonesia.

Masyarakat adat Kayan, desa Long Melah adalah orang-orang yang jatuh ke tangan penyamun modern, kaum kapitalis, para pemilik modal, yang merampok hak-hak kolektif dan kesejahteraan sosial-ekonomi mereka.

Diinspirasi oleh bacaan-bacaan suci Alkitabiah pada perayaan 20 Tahun VIVAT Internasional dan diperkaya oleh pengalaman anggota JPIC-VIVAT di lapangan, kita dapat mengatakan bahwa Anggota VIVAT – JPIC harus hadir dalam terlibat dalam dua realita kehidupan: dalam realitas kehidupan sehari-hari di tengah masyarakat korban yang jatuh ke tangan “penyamun modern” untuk menolong dan menyelamatkan mereka; Kita juga harus hadir dan terlibat dalam proses pengambilan keputusan dan kebijakan yang menyangkut kebaikan bersama, kepentingan umum dan menyuarakan suara kaum tak bersuara lewat ruang-ruang publik.

Singkatnya, kita sebagai anggota JPIC-VIVAT dapat mengambil role model sebagai orang Samaria yang murah hati dan rasul Paulus. Kita dipanggil menjadi seorang Samaria yang baik hati, peduli dan responsif pada kebutuhan para korban ketidak-adilan; sekaligus berani mewartakan Allah yang tidak dikenal, seperti Paulus, pada ruang-ruang publik di Areopagus modern. Menyuarakan suara kaum tak bersuara baik di akar rumput maupun di forum internasional. (Paul Rahmat, SVD)