Petani Tidak Bebas Menanam: Strategi Monsanto dan Pertaruhan Kedaulatan Benih Dunia
Klik Untuk Lebih Jelas : Petani Tidak Bebas Menanam: Strategi Monsanto dan Pertaruhan Kedaulatan Benih Dunia
Klik Untuk Lebih Jelas : Petani Tidak Bebas Menanam: Strategi Monsanto dan Pertaruhan Kedaulatan Benih Dunia
Klik Untuk Lebih Jelas : Petani Tidak Bebas Menanam: Strategi Monsanto dan Pertaruhan Kedaulatan Benih Dunia
Klik Untuk Lebih Jelas : Petani Tidak Bebas Menanam: Strategi Monsanto dan Pertaruhan Kedaulatan Benih Dunia
“Siapa yang menguasai benih, ia menguasai kehidupan.” Ungkapan ini semakin relevan ketika kita melihat strategi korporasi raksasa seperti Monsanto (kini bagian dari Bayer) dalam mengendalikan pasar benih dunia. Benih yang selama ribuan tahun diwariskan, disimpan, dan ditukar secara bebas oleh petani, kini dipagari oleh paten, kontrak, dan aturan hukum yang mengekang. Di balik slogan “kemajuan teknologi pertanian,” tersimpan agenda monopoli. Petani bukan lagi subjek yang merdeka, melainkan sekadar pengguna produk komersial yang dikontrol korporasi. Inilah ironi besar pertanian modern: di era pangan berlimpah, petani justru kehilangan kebebasan paling dasar—kebebasan untuk menanam benih sendiri.
Strategi Paten: Menjual Benih, Menjual Kehidupan
Monsanto terkenal dengan rekayasa genetik (GMO) yang dipatenkan. Dengan paten ini, petani dilarang menyimpan dan menanam kembali benih hasil panennya. Kontrak yang harus ditandatangani memaksa petani membeli benih baru setiap musim. Padahal, menyimpan benih adalah tradisi ribuan tahun dalam pertanian rakyat. Benih bukan sekadar input produksi, tetapi simbol pengetahuan, budaya, dan kedaulatan komunitas. Ketika benih dipatenkan, kehidupan itu sendiri diprivatisasi.
Kontrak dan Kriminalisasi Petani
Kisah petani yang digugat Monsanto karena 'menyimpan benih' menjadi bukti kejamnya sistem ini. Ribuan petani di Amerika Serikat, Kanada, hingga India pernah menghadapi gugatan hukum. Kontrak berisi klausul ketat: tidak boleh menyimpan, menukar, atau menjual benih hasil panen. Jika ada pelanggaran, ancaman hukum menanti. Strategi ini adalah bentuk kriminalisasi tradisi pertanian yang sudah ada jauh sebelum paten ditemukan.
Monopoli Pasar Benih dan Pestisida
Monsanto membeli perusahaan benih kecil di seluruh dunia. Lambat laun, pilihan benih di pasaran menyusut. Monopoli ini diperkuat dengan produk pestisida Roundup yang dirancang cocok dengan benih GMO mereka. Hasilnya adalah lingkaran ketergantungan: petani membeli benih GMO, lalu harus membeli pestisida yang sama, dan seterusnya. Empat perusahaan raksasa kini menguasai lebih dari 60% pasar benih dunia.
Ketergantungan dan Krisis Utang
Harga benih GMO jauh lebih mahal dibanding benih lokal. Petani yang terjebak kontrak terpaksa berutang demi membeli benih setiap musim. Di India, gelombang bunuh diri petani sering dikaitkan dengan jeratan utang akibat benih Monsanto. Di Indonesia, fenomena serupa terlihat pada benih hibrida jagung dan padi. Petani dipaksa membeli benih baru terus-menerus karena benih hibrida tidak bisa disimpan untuk musim berikutnya.
Dampak terhadap Keanekaragaman Hayati
Ketika hanya segelintir benih GMO mendominasi pasar, keanekaragaman benih lokal terancam punah. Padahal, benih lokal adalah hasil adaptasi panjang terhadap iklim, tanah, dan budaya setempat. Hilangnya benih lokal berarti hilangnya pengetahuan tradisional yang diwariskan turun-temurun. Petani kehilangan pilihan, ekosistem kehilangan ketahanan, dan masyarakat kehilangan identitas budayanya.
Benih sebagai Hak Asasi
Benih bukan sekadar komoditas, tetapi hak asasi manusia. Hak atas benih terkait erat dengan hak atas pangan. Jika benih dikuasai korporasi, maka pangan pun dikuasai. FAO menekankan, kedaulatan pangan hanya bisa terwujud jika petani berhak menyimpan, menukar, dan menanam benih sendiri. Sayangnya, kebijakan internasional sering kali lebih berpihak pada paten korporasi ketimbang hak rakyat.
Perlawanan Global
Di seluruh dunia, gerakan perlawanan terhadap dominasi Monsanto terus menguat. Dari India dengan Navdanya oleh Vandana Shiva, hingga La Via Campesina, semua menekankan: benih adalah milik rakyat. Di Indonesia, banyak komunitas petani mulai menghidupkan kembali bank benih lokal. Mereka menyimpan, memperbanyak, dan menukar benih tanpa bergantung pada pasar. Inisiatif ini menjadi benteng melawan monopoli benih korporasi.
Indonesia dan Pertaruhan Benih Lokal
Indonesia kaya dengan ribuan varietas padi, jagung, kacang, sayur, hingga umbi-umbian. Namun banyak yang terancam hilang karena dominasi benih hibrida dan GMO impor. Pemerintah cenderung mendukung perusahaan besar dengan alasan 'produktivitas.' Padahal, keberlanjutan pangan justru bertumpu pada keanekaragaman benih lokal. Jika tren ini dibiarkan, Indonesia bisa kehilangan kedaulatan benih dan kedaulatan pangan.
Kebebasan petani untuk menanam adalah fondasi kedaulatan pangan. Strategi Monsanto dan korporasi sejenis adalah ancaman nyata terhadap masa depan pertanian rakyat. Maka, perjuangan melawan monopoli benih bukan sekadar isu teknis pertanian, melainkan perjuangan politik, sosial, dan budaya. Kita harus memastikan benih tetap berada di tangan petani, bukan di bawah kendali paten perusahaan.
Seperti kata Vandana Shiva: 'Benih adalah kehidupan. Menyerahkan benih pada perusahaan berarti menyerahkan kehidupan kita.'
Catatan Kaki & Referensi
1. Video: FARMERS ARE NOT FREE TO PLANT! — Monsanto's Strategy to Control the World's Seeds (YouTube).
2. PANAP (2022). Improved Social Protection and Labour Rights for Women Farmers, Agricultural Workers and Indigenous People.
3. Vandana Shiva (2016). Who Really Feeds the World? The Failures of Agribusiness and the Promise of Agroecology.
4. La Via Campesina (2020). Declaration on Seed Sovereignty.
5. FAO (2019). Farmers' Rights and Agricultural Biodiversity.