KRISIS DEMOKRASI DAN TIRANI MERITOKRASI MENURUT MICHAEL SANDEL

 

Dr. Otto Gusti Madung, SVD

(Dosen STFK Ledalero)

Disampaikan dalam Zoom Seminar Hari Pahlawan, 

10 November 2020, pkl. 18.50-21.00 WIB

Pendahuluan 

Outline: 

    • Pengertian Komunitarisme secara umum
    • Kritik Michael Sandel atas Antropologi Liberal: Unencumbered self
    • Krisis Demokrasi dan Meritokrasi
    • Kesimpulan

Biografi Michael Josef Sandel

  • Michael Josef Sandel lahir tahun 1953,
  • filsuf politik asal Amerika Serikat.
  • Sekarang mengajar di Harvard Univesity Law School.
  • Kuliahnya tentang “Justice” dapat diakses secara online,
  • pesertanya mencapai 10 juta orang.
  • China Newsweek pernah menganugerahkannya “the most influential foreign figure of the year". Ia juga dikenal sebagai pengeritik karya John Rawls “A Theory of Justice” dalam bukunya “Liberalism and the Limits of Justice” (1982).

PENGERTIAN UMUM KOMUNITARISME

  • Komunitarisme dapat dimengerti sebagai sebuah ikhtiar untuk menghidupkan kembali pada era postmodern ini kesadaran kolektif atau kesadaran akan hidup dalam komunitas di tengah kondisi masyarakat informasi dan yang diwarnai penjualan jasa pelayanan (Dienstleistung).
  • Definisi singkat ini mengungkapkan secara kasat mata ambivalensi komunitarisme. Model-model kehidupan komunitas menawarkan kepada manusia cara-cara hidup tradisional agar merasa at home. 
  • Ambruknya relasi-relasi sosial karena proses modernisasi telah mendorong lahirnya sejumlah ideologi komunitas tradisional dalam masyarakat modern seperti munculnya sosialisme pada abad ke-19.

Kritik Liberalisme Dan Fundamentalisme

  • Dewasa ini komunitas (Gemeinschftlichkeit) di satu sisi lahir sebagai kritik atas masyarakat liberal yang individualistis, namun di sisi lain muncul dalam wajah fundamentalisme neototalitarian. Diskursus seputar komunitarisme bergerak dalam ketegangan antara modernitas dan konservativisme seperti diuraikan di atas.
  • Sebagai sebuah mazhab filsafat, komunitarisme lahir sebagai produk sekelompok pemikir anglosaxon yang mengkritisi konsep kontrak sosial seperti dikembangkan John Rawls dan liberalisme pada umumnya. Perdebatan liberalisme versus komunitarisme dimulai awal tahun 80-an dan berkembang begitu cepat.
  • Komunitarisme terdiri dari macam-macam posisi berbeda, namun mereka sepakat pada beberapa hal mendasar: kaum komunitarian menggarisbawahi kekurangan filsafat sosial yang berorientasi pada liberalisme moderen serta pentingnya tuntunan etis dan pandangan hidup bersama. Secara filosofis kaum komunitarian merujuk pada Aristoteles, Thomas Aquinas, Hegel dan Tocqueville, bukan pada pemikir klasik moderen seperti Locke, Rousseau dan Kant.

Kritik atas Liberalisme

  • Komunitarisme mengajukan beberapa catatan kritis atas pandangan kaum liberal. Ada pun secara umum beberapa point penting kritikan kaum komunitarian tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut (Arno Anzenbacher, Christliche Sozialethik. Einfűhrung und Prinzipien, Paderborn. Műnchen. Wien. Zűrich: Ferdinand Schőningh, 1997).
  • Pertama, kaum komunitarian menolak konsep antropologi liberal yang, demikian Michael Sandel, melihat manusia sebagai „unencumbered self“ atau manusia tanpa komunitas. Manusia dalam pandangan kaum liberal dimengerti sebagai individu yang terisolir dan melayang-layang di ruang kosong serta ditempatkan dalam ruang-ruang hak kebebasan. Dalam kenyataanya, demikian kaum komunitarian, manusia selalu hidup dalam komunitas, tradisi dan ikatan sosial.
  • Kedua, bahaya atomisasi sosial dan melemahnya solidaritas dipertajam lagi dengan dominasi imperatif ekonomi. Rationalitas ekonomi pasar terus mengikis dan memarjinalisasi dimensi etis, kultural dan religius bersama tradisi dan komunitas-komunitasnya (agama misalnya).
  • Ketiga, solusi apa yang ditawarkan kaum komunitarian untuk mengatasi bahaya individualisasi, ekonomisasi dan desolidarisasi (Entsolidarisierung)? Solusi kaum komunitarian ialah dengan menawarkan dan memperkuat komunitas-kominitas, kelompok-kelompok dan tradisi komunitarian di mana manusia dapat mengalami, mempratikkan dan menginternalisasi identitas kultural, etos sosial, solidaritas dan makna bersama.
  • Komunitarisme menawarkan solusi dengan mengikat kembali „unencumbered self“ ke dalam keluarga, sanak saudara, tetangga, komunitas agama, jaringan sosial dan segala macam persekutuan sosial sampai akhirnya identitas sosial bangsa yang mampu memberikan makna hidup.
  • Keempat, cita-cita kaum komunitarian berkait erat dengan kritik budaya. Charles Taylor dalam Sources of the Self berpendapat bahwa modernitas dalam wajah liberal telah melupakan akar, substansi dan sumber kehidupannya (Charles Taylor, Quellen des Selbst. Die Entstehung der neuzeitlichen Identität, Frankfurt am Main: Suhrkamp 1994).
  • Akar dan sumber mata air kehidupan moderen dan juga sumber bagi subjek bebas atas dasar faham hak-hak asasi manusia bersifat pandangan hidup, religius dan metafisis. Hanya modernitas yang merefleksikan sumber kehidupannya dan membaharui diri lewat proses refleksi tersebut dapat menjadi pengawal dan pembela kebebasan dan martabat manusia.

KRITIK SANDEL ATAS KONSEP “UNENCUMBERED SELF”

  • Krisis yang tengah mendera masyarakat kontemporer dirumuskan oleh Michael Sandel dalam kritiknya terhadap liberalisme. Hal ini diulas dalam bukunya berjudul “Liberalism and the Limits of Justice” (1982).
  • Dalam buku ini pertama-tama Sandel mengemukakan kritik atas konsep keadilan John Rawls dalam buku A Theory of Justice (1971). Merujuk pada Immanuel Kant, Rawls menekankan bahwa etika politik tidak dapat berpijak pada konsep kebahagiaan (Glȕck) atau hidup baik (gutes Leben/ good life) sebagai prinsip dasarnya. Alasannya konsep hidup baik atau kebahagiaan selalu bersifat partikular, kebetulan dan tidak dapat diberi pendasaran intersubjektif.
  • Tugas politik di sini adalah memungkinkan warga negara untuk mengejar kebahagiaan atau cita-cita tentang hidup baik sekian, sehingga tidak bertabrakan dengan kebebasan yang lain. Hal ini dirumuskan oleh Immanuel Kant sebagai berikut:
  • “Tak seorang pun dengan caranya sendiri dapat memaksa saya untuk hidup bahagia, akan tetapi setiap orang boleh mengejar kebahagiaan pada jalan yang ia pikirkan baik, asalkan dia tidak merugikan kebebasan orang lain yang juga mengejar kebahagiaan yang mirip, yang kompatibel dengan kebebasan orang lain seturut hukum yang berlaku umum.” (Über den Gemeinspruch: Das mag in der Theorie richtig sein, taugt aber nicht fȕr die Praxis (1793), hg von Wilhelm Weischedel, Frankfurt am Main: Suhrkamp, 1977, hlm. 290.
  • Sejalan dengan Kant, Rawls memberi prioritas pada konsep keadilan (justice) di hadapan konsep hidup baik. Karena itu menurut Rawls, hak dasar individu tak pernah boleh dikorbanka demi kepentingan umum. Di sini Rawls berseberangan dengan maksim utilitarisme yakni “the greatest happiness of the greatest number”.
  • Sebelum kita melihat kritik Sandel atas teori keadilan Rawls, baiklah akan dikemukakan sejumlah tesis dasar teori keadilan John Rawls. Pertanyaan dasar yang akan dijawab dalam karya Rawls ialah: Bagaimana kita harus merumuskan prinsip-prinsip keadilan?
  • Rawls menawarkan dua cara yakni metode kontrak sosial dan metode filsafat moral. Model kontrak sosial menuntun kita kepada konsep tentang original position atau posisi asali. Bagi Rawls konsep posisi asali tidak bersifat faktis-historis, tapi fiktif.
  • Original position tidak sama dengan „original contract“ di mana seperti dijelaskan John Locke sejumlah orang membuat kontrak faktis-historis. Posisi asali berarti, kita membayangkan situasi tanpa negara, mengkonstruksikan sebuah kondisi di mana orang-orang yang bebas dan setara berdiskusi untuk menata secara adil tatanan hidup bersama.
  • Dalam posisi asali tersebut orang mengambil keputusan di balik “cadar ketaktahuan” (Schleier desNichtwissens/ veil of ignorance). Itu berarti mereka tidak mengetahui posisi sosial dan taraf hidupnya di masa depan, jenis kelamin, identitas asalnya, kepentingan, sikap, talenta, bakat dan lain-lain.
  • Menurut pandangan Rawls, dalam posisi asali orang akan menerima dua macam prinsip keadilan yang menjadi basis untuk pertimbangan-pertimbangan selanjutnya (John Rawls, Eine Theorie der Gerechtigkeit, Frankfurt am Main: Suhrkamp, 1979/1971, hlm. 77).

Dua Prinsip Keadilan

  • Pertama, setiap orang mempunyai hak yang sama atas kebebasan-kebebasan dasar yang paling luas yang dapat dicocokkan dengan kebebasan-kebebasan yang sejenis untuk semua orang. Di sini Rawls menganut egalitarianisme. Kebebasan-kebebasan seperti hak berpendapat, hak untuk mengikuti hati nurani, hak berkumpul, dan sebagainya harus tersedia dengan cara yang sama untuk semua orang. Masyarakat tidak diatur dengan adil, kalau hanya satu kelompok boleh mengemukakan pendapatnya atau semua warga negara dipaksakan untuk memeluk satu agama. Kebebasan-kebebasan itu harus seluas mungkin, tetapi ada batas juga. Batas bagi kebebasan satu orang adalah kebebasan dari semua orang lain. Sama sekali tidak adil, jika saya begitu bebas, sehingga orang lain tidak bebas lagi.

Prinsip Perbedaan

  • Kedua, ketidaksamaan sosial dan ekonomis diatur sedemikian rupa sehingga: a) Menguntungkan terutama orang-orang yang minimal beruntung, dan serentak juga; b) melekat pada jabatan-jabatan dan posisi-posisi yang terbuka bagi semua orang dalam keadaan yang menjamin persamaan peluang yang fair.
  • Prinsip 2 bagian a disebut prinsip perbedaan (difference principle). Supaya masyarakat diatur dengan adil, tidak perlu semua orang mendapat hal-hal yang sama. Dengan itu Rawls menolak egalitarinanisme radikal.
  • Boleh saja ada perbedaan dalam apa yang dibagi dalam masyarakat. Tetapi perbedaan itu harus sedemikian rupa sehingga harus menguntungkan mereka yang minimal beruntung. Misalnya, boleh dianggap adil saja, jika negara menyelenggarakan kursus ketrampilan untuk orang miskin atau memberi tunjangan kepada janda dan yatim piatu, sedangkan kepada orang lain yang cukup mampu tidak diberikan apa-apa.
  • Mengapa hal itu dianggap adil? Karena kita merumuskan prinsip ini ketika kita berada dalam posisi asali. Dengan prinsip perbedaan ini Rawls sebenarnya meletakkan landasan etis untuk welfare statemoderen.
  • Prinsip 2 bagian b disebut prinsip persamaan peluang yang fair. Adanya jabatan atau posisi penting mengakibatkan juga ketidaksamaan dalam masyarakat. Sudah dari sediakala jabatan-jabatan tinggi sangat didambakan orang bersama fasilitas dan privilegi yang melekat padanya. Hal ini tidak boleh dianggap kurang adil, asalkan jabatan dan posisi itu pada prinsipnya terbuka untuk semua orang.

 

Kritik Sandel atas Rawls

  • Sandel mengemukakan kritik atas prinsip perbedaan (difference principle), terutama yang berkaitan dengan keadilan distributif. Menurut prinsip ini income yang lebih besar dari kelas sosial tinggi hanya dapat dibenarkan jika hal tersebut memberikan keuntungan bagi mereka yang minimal beruntung.
  • Jika tidak demikian, maka mereka yang berpendapatan tinggi harus bersedia menyerahkan bagian tertentu dari pendapatan tersebut lewat pembayaran pajak progresif misalnya. Namun pertanyaan dari Sandel ialah apa yang mewajibkan mereka untuk menyerahkan bagian dari pendapatan tersebut dalam bentuk pembayaran pajak progresif?
  • Mengapa seorang unencumbered self harus mewajibkan dirinya untuk berbagi dengan individu atomistik lainnya? Pertanyaan-pertanyaan ini jelas menunjukkan bahwa basis etis keadilan distributif di sini tidak terletak pada pribadi yang atomistik tapi pada faktor lain. Prasyarat kesediaan berbagi (keadilan distributif) adalah adanya komunitas yang mengikat di dalamnya terjadi proses distribusi.
  • Titik tolak pelaksanaan difference principle ialah adanya kelebihan pendapatan (income) individual karena alasan bakat, talenta, kecantikan, dan lain-lain. Talenta alamiah seperti ini menurut Rawls bukan hasil dari prestasi individu, tapi sesuatu yang kebetulan atau hasil lotre alamiah dan karena itu dipandang sebagai milik umum. Karena ketidaksamaan lahiriah dan bakat alamiah merupakan lotre alamiah, maka hal itu harus dikompensasi.
  • Lotre alamiah itu hanya boleh memberi keuntungan lebih bagi individu bersangkutan jika hal itu menguntungkan mereka yang minimal beruntung. Seorang pemain violin atau sepak bola berbakat misalnya boleh dibayar sangat mahal karena dikagumi oleh jutaan orang. Distribusi sejumlah talenta merupakan lotre alamiah sehingga dari perspektif moral dianggap kebetulan.
  • Akan tetapi tesis Rawls tentang prinsip kebetulan munculnya bakat-bakat individual dan kemudian dijadikan basis argumentasi untuk sikap moral universal, secara filosofis bermasalah. Sebab betapapun bakat dan kemampuan intelektual sangat ditentukan oleh faktor lotre alamiah, menjadi anggota dari sebuah komunitas atau welfare state di mana proses distribusi itu terjadi pun sama halnya.
  • Tidak ada basis rasionalitas yang cukup untuk menjelaskan bahwa saya harus mendistribusikan sesuatu karena saya memperolehnya secara kebetulan, jika orang lain itu hanya secara kebetulan hidup dalam satu komunitas dengan saya. Bahkan dalam paradigma berpikir liberalisme, menjadi anggota dari umat manusia adalah sebuah kebetulan. Dalam antropologi atomistik liberal, penerapan prinsip perbedaan John Rawls dipandang sebagai sebuah praktik ketidakadilan.
  • Menurut Michael Sandel, kesediaan untuk membagi membutuhkan sebuah basis moral yang lebih kuat dari sekedar pandangan antropologi liberal yang atomistik. Pertama-tama harus dirumuskan kepada siapa kita harus berhutung budi untuk mendistribusikan benefit yang kita punyai. Model komunitas seperti apa yang dapat mewajibkan kita untuk berpikir dan bertindak dalam kerangka keadilan distributif. Menurut Sandel, kumpulan individu-individu atomistik liberal tidak mungkin bertindak sosial.
  • Dengan demikian, kita berhadapan dengan sebuah dilema. Di satu sisi kita memandang diri kita secara liberal sebagai “unencumbered self”, sehingga prinsip perbedaan John Rawls tidak dapat dipertahankan. Atau di sisi lain, kita melihat diri kita sebagai anggota dari sebuah “keluarga, komunitas, bangsa, masyarakat budaya, pewaris sebuah sejarah kolektif, warga dari sebuah republik”.
  • Keanggotaan tersebut tidak mewajibkan kita secara suka rela seperti dalam teori kontrak sosial atau secara kodrati seperti dalam teori hukum kodrat. Keanggotaan tersebut berkaitan dengan ikatan dan kewajiban yang berkelanjutan yang akhirnya mengkonstruksi dan mendefinisikan pribadi menjadi aku.
  • Jadi menurut Sandel, jika kita ingin mempertahankan prinsip perbedaan John Rawls, maka konsep pribadi liberal yang atomistik harus ditinggalkan. Sandel ingin mempertahankan konsep welfare state sambil meninggalkan basis antropologi liberal.
  • Hal ini dirumuskan lebih lanjut oleh Michael Sandel:
  • “Membayangkan seorang pribadi yang tidak mampu menjalin relasi sosial konstitutif, bukan berarti memikirkan seorang individu yang rasional, bebas dan ideal, melainkan sebaliknya sedang berimajinasi tentang seorang pribadi tanpa karakter, tanpa kedalaman moralitas. Sebab memiliki karakter sesungguhnya berarti mengetahui bahwa saya merangkak masuk ke dalam sejarah yang tidak berada di bawah kendaliku, namun memiliki dampak bagi pilihan-pilihan yang saya buat dan perilakuku.” (Sandel, Liberalism and the Limits of Justice, hlm. 90).
  • Benar bahwa manusia dapat mengambil jarak dan membuat refleksi atas sejarah dirinya. Namun kita tidak dapat mengambil sudut pandang burung dan berdiri di luar sejarah. Akan tetapi etika liberal berikhtiar untuk memposisikan individu di luar jangkauan pengalaman, beyond pertimbangan dan refleksi. Hasilnya adalah sebuah ilusi.

KRISIS DEMOKRASI DAN TIRANI MERITOKRASI

Michael Sandel, pada pertengahan September 2020 menerbitkan sebuah buku berjudul “The Tyranny of Merit” atau “Tirani Meritokrasi”. Buku ini menggambarkan bagaimana prinsip meritokrasi atau prestasi menghancurkan sistem demokrasi. Dalam buku ini Sandel pertama-tama berbicara tentang masyarakat Amerika Serikat yang menjadikan meritokrasi sebagai prinsip hidup sosial yang paling penting. 

Meritokrasi dan Populisme

  • Menurut Michael Sandel krisis demokrasi kontemporer berakar pada ideologi meritokrasi. Dalam kata-kata Sandel sendiri: “The populist backlash has been a revolt against the tyranny of merit”- “Serangan populisme adalah pemberontakan melawan tirani meritokrasi”. Tirani itu dialami oleh kelompok pekerja yang merasa direndahkan oleh sistem meritokrasi dan seluruh proyek politik liberal.
  • Sandel menggambarkan bagaimana prinsip meritokrasi menghancurkan sistem demokrasi. Meritokrasi adalah sebuah masyarakat yang menjadikan prestasi individu sebagai ukuran satu-satunya dalam kehidupan sosial serta memandang tinggi rendahnya status atau peringkat sosial atas dasar prestasi tersebut. Dalam masyarakat seperti ini orang yang menghasilkan banyak akan mendapat banyak, dan yang menghasilkan sedikit juga mendapat sedikit.
  • Dalam karya ini Sandel ingin menunjukkan bahwa ada semacam dugaan atau ideologi dalam arti kesadaran palsu yang menyatakan seolah-olah kita hidup dalam masyarakat meritokratis atau berbasis prestasi. Ideologi ini memiliki dampak luar biasa bagi masyarakat seperti ditunjukkannya dalam analisis tentang masyarakat Amerika Serikat.
  • Pandangan yang menyatakan bahwa prestasi individu adalah kriteria satu-satunya, bahwa prestasi sosial, pendapatan dan kesejahteraan ditentukan oleh prestasi masing-masing individu, telah menghancurkan solidaritas sosial dan menguburkan mimpi tentang kesejahteraan sosial. Michael Sandel berpandangan bahwa ideologi meritokrasi pada tahun 2016 telah menghantar Donald Trump ke Gedung Putih (Michael Sandel, Vom Ende des Gemeinwohls. Wie die Leistungsgesellschaft unsere Demokratien zerreisst, Berlin: Fischer Verlag, 2020, hlm. 10).
  • Mayoritas buruh tanpa ijazah universitas telah memilih Donald Trump pada pemilihan umum tahun 2016. Politik kebencian dan kemarahan yang diusung oleh Donald Trump telah menarik perhatian dan simpati kelompok buruh.
  • Hal ini bisa dijelaskan lewat kondisi ekonomi mereka yang semakin buruk dalam empat dekade terakhir. Pada tahun 1971 93% dari kelompok buruh berkulit putih memiliki pekerjaan yang baik. Sementara pada tahun 2016 tinggal 80% yang memiliki lapangan pekerjaan (Ibid., 316).
  • Di samping itu, pada tahun 2017 orang Amerika tanpa ijazah perguruan tinggi yang bekerja hanya 68%. Dari 20% yang menganggur, hanya sedikit yang memiliki optimisme untuk mencari pekerjaan. Mayoritas dari mereka sudah putus asa dan merasa bahwa ekonomi pasar global telah menghancurkan masa depan mereka.
  • Kehilangan harapan untuk mencari lapangan pekerjaan baru ini bukan saja uangkapan patologis dari sebuah moralitas yang ambruk. Tak sedikit orang melakukan bunuh diri karena putus asa. Sandel menyebutnya “Todesfälle aus Verzweiflung” – “Kematian karena kehilangan harapan” (317).
  • Sandel bekerja sebagai profesor pada Harvard University. Ia mengamati perkembangan sosial yang dramatis dan mengetahui dengan pasti bagaimana para mahasiswanya menggantungkan kemampuan prestasinya pada simbol “telah menamatkan studi pada elite universities” seperti Harvard dll. Sementara itu di sisi lain, demikian Sandel, tiket masuk ke universitas-universitas papan atas itu sangat bergantung pada kekayaan orang tua mereka.
  • Dengan memberikan penekanan pada prestasi (merit) tampaklah kecenderungan umum masyarakat Amerika Serikat yang dalam empat dekade terakhir telah menjadikan prestasi sebagai episentrum gambaran dirinya. Para mahasiswa menafsirkan posisi mereka di tengah masyarakat seperti yang disuguhkan oleh Zeitgeist tersebut. Menurut Sandel, Zeitgeist itu muncul dalam wajah neoliberalisme pada masa pemerintahan Ronald Reagan pada tahun 80-an. Akan tetapi Zeitgeist itu baru berkembang menjadi hegemonial berkat jasa dari para petinggi partai demokrat seperti Bill dan Hilary Clinton serta Barack Obama.
  • Di sini Sandel menampilkan argumentasi pokoknya. Ia menunjukkan kepada para elit partai demokrat serta mengkonfrontasi mereka dengan pengetahuan baru bahwa mereka telah berjasa dan bertanggung jawab menghantar seorang presiden seperti Donald Trump ke puncak kekuasaan politik Amerika Serikat.
  • Karena itu terlalu mudah untuk marah dan kecewa dengan Trump, tanpa merefleksikan peran partai demokrat yang telah menciptakan kondisi sosial yang memuluskan jalan bagi Donald Trump. Ketika Donald Trump memenangkan pemilu pada tahun 2016, para pakar dan politisi mainstream sangat terkejut dan kehilangan akal.
  • Alasannya, mereka buta terhadap budaya elitis yang menganggap rendah kelompok buruh yang berlangsung empat dekade terakhir. Kultur ini lahir dari projek meritokrasi yang bersifat ekslusif dan timpang serta digerakkan oleh globalisasi kapitalisme pasar.
  • Sandel menunjukkan sejumlah aspek ideologis dari praktik meritokrasi. Pertama, berkaitan dengan cara menghadapi persoalan ketimpangan sosial. Dalam kaca mata paradigma meritokrasi, penjelasan untuk persoalan ketimpangan sosial sangat sederhana, yakni karena ada orang menghasilkan banyak, dan yang lainnya sedikit.
  • Sandel memperkuat kritiknya dengan mengangkat sejumlah pernyataan publik dari sejumlah politisi partai demokrat yang jelas-jelas mendukung ideologi meritokrasi. Hillary Clinton misalnya merelativisasi kekalahannya pada tahun 2016 dengan mengatakan bahwa dia dipilih oleh warga Amerika Serikat yang menyumbangkan 80 % dari pendapatan bruto nasional (189). Dari perspektif meritokratis penjelasan ini masuk akal, tapi dia menghancurkan demokrasi sebab demokrasi tidak dibangun di atas prinsip prestasi tapi one person one vote. 
  • Kedua, tafsiran meritokratis atas penyebab munculnya ketimpangan sosial berdampak negatif bagi kelompok pinggiran. Tafsiran ini merendahkan dan menghina masyarakat miskin yang sudah berada pada posisi yang sangat sulit secara ekonomis. Meritokrasi berdampak negatif terhadap kelompok marginal sebab dibangun di atas ideologi: siapa yang miskin, jelas salah sendiri.
  • Karena barang siapa bekerja keras, sudah pasti diganjari kesuksesan dalam hidup. Etika kesuksesan barbarian ini merasuki seluruh ranah kehidupan: yang berada pada puncak kesuksesan layak mendapatkan itu. Demikianpun yang gagal. Mereka gagal karena belum berjuang maksimal dan tidak memiliki pendidikan universitas.
  • Ketiga, sistem pendidikan yang memperkuat ideologi meritokrasi. Sandel menunjukkan hasil pengamatannya tentang kehidupan universitas sehari-hari dan peluang di bidang pendidikan. Orang begitu yakin bahwa pendidikan merupakan solusi untuk mengatasi perangkap ketimpangan sosial. Sikap meritokratis tentang peran pendidikan ini juga ditekankan oleh sejumlah pejuang partai demokrat seperti Bill Clinton di Amerika Serikat, Tonny Blair di Inggris dan Gerhard Schroeder di Jerman.
  • Akan tetapi ironisnya, demikian Sandel, tiket masuk ke dunia pendidikan, terutama universitas, tidak ditentukan oleh prestasi individu anak didik, tapi oleh status ekonomi orang tua. Selain itu ketika konsentrasi pada pendidikan memperkuat pandangan tentang kompetisi di bursa pasar kerja, persaingan untuk mendapatkan tempat di universitas elite pun bertambah brutal.
  • Keempat, sistem ekonomi merupakan sistem sosial yang paling dekat berkelindan dengan konsep meritokrasi. Pandangan mainstream mengatakan bahwa di bursa pasar kerja hanya orang berprestasi yang dapat bertahan.
  • Di sini, Sandel mengajukan pertanyaan: apa persis yang dihasilkan oleh para banker atau komisaris BUMN yang dibayar dengan gaji paling tinggi? Jika gaji dibayar berdasarkan prestasi (merit), apa persis substansi dari prestasi tersebut? Mengapa seorang perawat yang mengorbankan hidupnya untuk para pasien Covid-19 dibayar lebih rendah? Bukankah ini contoh bahwa prinsip meritokrasi tak lebih dari sebuah ideologi?

SOLUSI

  • Untuk mengatasi persoalan-persoalan di atas, Sandel menganjurkan sejumlah solisi. Pertama, Michael Sandel menganjurkan perlunya revitalisasi public discourse. Revitalisasi diskursus publik menuntut peninjauan kembali secara kritis atas premis dasar liberalisme yakni the principle ofavoidance (prinsip penghindaran).
  • Guna menciptakan masyarakat yang toleran liberalisme menempatkan keyakinan moral dan spiritual warga di ruang privat ketika mereka memasuki ruang publik. Tujuannya agar kelompok mayoritas tidak memaksakan nilai-nilai moralnya kepada kelompok minoritas serta mencegah pertarungan moral dalam politik berkembang menjadi perang antaragama. Di samping itu, prinsip penghindaran liberalisme berikhtiar untuk menciptakan basis bagi sikap respek dan toleran dalam sebuah tatanan sosial
  • Akan tetapi menurut Sandel, strategi penghindaran yang dikembangkan oleh liberalisme keliru dan telah menciptakan krisis demokrasi. Prinsip netralitas negara dalam diskursus tentang konsep hidup baik (good life) menyebabkan liberalisme tidak mampu merespons isu-isu moral dan kultural yang telah menjadi alasan munculnya politik populisme.
  • Liberalisme misalnya tidak dapat bicara tentang makna pekerjaan dan fungsi kerja untuk harga diri seseorang jika tidak masuk ke dalam perdebatan tentang kontestasi pelbagai konsep hidup baik. Atau, demikian Sandel, bagaimana liberalisme dapat bicara tentang relasi antara identitas nasional dan global jika tidak memiliki kosa kata tentang keutamaan-keutamaan yang mengungkapkan identitas tersebut serta klaim-klaim yang diciptakannya tentang kita?
  • Liberalisme teknokratis yang menjauhkan diri dari perdebatan tentang konsep hidup baik telah mempermiskin diskursus di ruang publik, melumpuhkan daya kritis ordinary citizens dan memfasilitasi lahirnya populisme yang akhirnya mengisi ruang publik dengan wacana-wacana intoleran dan nasionalisme sempit penuh kebencian.
  • Untuk keluar dari kondisi ini menurut Sandel, politik demokrasi perlu mengalami revitalisasi dengan membangun kembali diskursus publik yang kuat secara moral. Sebuah diskursus yang tetap menaruh penghargaan pada prinsip pluralisme dengan cara menghadapi secara aktif faktum disensus moral, dan bukan menghindarinya (principle of avoidance). Dengan demikian politik demokrasi dapat memahami kemarahan dan frustrasi kelompok masyarakat umum dan atas dasar itu membangun sebuah politik demokrasi baru yang lebih inklusif.
  • Kedua, untuk keluar dari masyarakat meritokrasi, Sandel membongkar asumsi-asumsi ideologi meritokrasi yang telah mempolarisasi masyarakat atas winners dan losers. Pandemi Covid-19 telah mengajarkan kita untuk mengapresiasi para pekerja yang dianggap tidak terampil dan karena itu dibayar murah.
  • Inilah momen pembaharuan untuk mengevaluasi kembali martabat kerja. Pandemi ini menyadarkan kita bahwa hidup kita sangat bergantung pada pakerja murah seperti perawat, sopir truk, para pelayan di supermarket, pembantu rumah tangga, dan lain-lain.
  • Karena itu, Sandel menganjurkan perlunya reorientasi dalam memberi bobot pada perkerjaan. Setiap jenis pekerjaan harus mampu menjamin hidup manusia yang bermartabat dan mendapatkan pengakuan secara sosial. Dengan ini Sandel tidak menganjurkan model egalitarianisme radikal, melainkan perlunya sistem universal basic income.
  • Hal ini merupakan basis material dan sumber bagi terciptanya ikatan sosial dan solidaritas. Penilaian dan pemberian bobot pada model-model pendapatan perlu ditinjau kembali. Tarif pajak atas kerja harus diturunkan, sementara pajak atas pasar uang harus dinaikkan.

Makna Kerja

  • Sandel berpandangan, jaringan global, aliran kapital dan identitas kosmopolitik telah merenggangkan relasi kita sebagai warga negara satu sama lain, kurang bersyukur terhadap hasil kerja sesama dan tidak terbuka terhadap tuntutan solidaritas. Melemahnya ikatan solidaritas ini, demikian Sandel, adalah akar dari polarisasi penuh kebencian yang melanda dunia politik kita. Guna menciptakan kembali martabat dari setiap pekerjaan, kita perlu memperbaiki relasi sosial kita sebagai sebuah komunitas politik.

PENUTUP

  • Selain solidaritas komunitarian yang berasal dari agama dan kebudayaan, bangsa Indonesia juga memiliki Pancasila. Pancasila adalah locus kontekstualisasi konsep universal hak asasi manusia di Indonesia agar menjadi bagian dari hidup masyarakat. Pancasila juga mencegah bahaya privatisasi konsep hidup baik seperti dipraktikkan dalam masyarakat liberal.