PERSEPSI RUANG DARI SUKU BANGSA MALIND ANIM DAN SUKU BANGSA DAYAK NGAJU
(Sebuah studi dari perspektif Antropologi Kognitif)
oleh
Wensislaus Fatubun
(Board Supervisor JPIC Kalimantan)
“A society’s culture consists of whatever it is one has to know or believe in order to operate in a manner acceptable to its members.... Culture Is not a material phenomenon; it does not consist of things, people, behavior, or emotions. It is rather an organization of these things. It is the forms of things that people have in mind, their models for perceiving, relating, and otherwise interpreting them.” (Goodenough, Cultural Anthropology and Linguistics, 1957)
Pengantar
Pemilihan topik tentang pengetahuan ruang suku bangsa Malind Anim dan suku bangsa Dayak Ngaju dalam karya tulis ini sebagai upaya penulis dalam mengkaji pegetahuan ruang masyarakat adat yang diwariskan secara turun temurun. Dalam tulisannya pada tahun 1974, yang diterjemahkan oleh Amri Marzali dengan judul “Teori-Teori tentang Budaya”, Roger M. Keesing memperkenalkan tiga teori ideasional mengenai budaya, yakni budaya sebagai sistem kognitif (antropologi kognitif), budaya sebagai sistem struktur (strukturalisme) dan budaya sebagai sistem simbolik (antropologi simbolik). Tulisan ini tidak membahas tiga teori tersebut, dan hanya fokus membahas tentang budaya sebagai sistem kognitif (antropologi kognitif) dengan pemikir utamanya Ward Goodenough. Pembahasan budaya sebagai sistem kognitif ini akan diperdalam dalam studi komparatif dari kebudayaan suku bangsa Malind di kabupaten Merauke, provinsi Papua dan kebudayaan suku bangsa Dayak Ngaju di provinsi Kalimantan Tengah.
Kedua kebudayaan masyarakat adat ini dipilih oleh penulis atas dasar pertimbangan yang berbasis pada hubungan penulis dengan keduanya. Penulis dibesarkan di dalam tradisi kebudayaan suku bangsa Malind anim, khususnya komunitas Woyu Maklew, dan pengalaman ketika bekerja bersama dengan komunitas adat Dayak di Kalimantan Tengah, khususnya komunitas suku bangsa Dayak Ngaju.
Pembahasan tulisan ini dimuali dengan membahas teori antropologi kognitif Ward Goodenough, dan membacanya dalam konteks kebudayaan suku bangsa Malind anim dan suku bangsa Dayak Ngaju.
A. Teori antropologi kognitif Ward Goodenough
1. Ward Goodenough: sebuah profile singkat
Ward Hunt Goodenough (30 Mei 1919 - 9 Juni 2013) adalah seorang antropolog Amerika, yang telah berkontribusi dalam studi kekerabatan, antropologi linguistik, studi lintas budaya, dan antropologi kognitif. Selama kariernya yang panjang dan produktif, Goodenough memajukan model berbasis linguistik tentang bagaimana budaya beroperasi. Ia mengembangkan metode etnografi yang ketat secara ilmiah untuk mendokumentasikan struktur tempat budaya tertentu beroperasi. Pendekatannya terhadap antropologi budaya didasarkan secara empiris melalui penelitian lapangan secara intensif di Oseania pada tahun 1951 - 1965, terutama di kepulauan Chuuk, Mikronesia, di Kiribati, dan di Nakanai, New Britania.
Melalui penelitiannya, Goodenough memberikan kontribusi besar pada bidang antropologi terapan, linguistik Oseanik dan sejarah bahasa, dan pada pendekatan filogenetik dalam antropologi historis. Selama karir mengajarnya di Universitas Pennsylvania, Goodenough memengaruhi beberapa generasi antropolog. Selain prestasi akademisnya, Goodenough adalah orang yang benar-benar renaisans, fasih dalam beberapa bahasa, seorang penyair yang mengabdi pada soneta, dan seorang musisi yang berspesialisasi dalam fugues keyboard.
2. Teori Goodenough: Budaya sebagai sistem kognitif
Dalam tulisannya yang berjudul “Cultural anthropology and linguistics. In Report of the Seventh Annual Round Table Meeting on Linguistics and Language Study” yang diterbitkan pada tahun 1957, Goodenough mendefenisikan budaya sebagai:
“Whatever it is one has to know or believe in order to operate in a manner acceptable to its member It is the form of things that people have in mind, their models for perceiving, relating, and otherwise interpreting them” (Goodenough, 1957: 167).
Definisi ini dengan jelas menegaskan pengertian budaya pada dasarnya adalah fenomena mental, tidak berwujud fisik. Budaya lebih merupakan organisasi dari hal-hal tersebut. Budaya adalah bentuk hal-hal yang ada dalam pikiran (mind) manusia, model-model yang dipunyai manusia untuk menerima, menghubungkan, dan kemudian menafsirkan fenomena material di atas. Budaya terdiri atas apa pun yang harus diketahui atau dipercayai seseorang agar dapat beroperasi dengan cara yang dapat diterima oleh anggotanya. Goodenough menegaskan:
“Culture Is not a material phenomenon; it does not consist of things, people, behavior, or emotions. It is rather an organization of these things. It is the forms of things that people have in mind, their models for perceiving, relating, and otherwise interpreting them.” (Goodenough, 1957).
Gagasan ini menghasilkan sejumlah besar penelitian, yang pertama kali diberi label Etnografi Baru dan kemudian diberi nama "antropologi kognitif”.
Ward Goodenough memperkenalkan budaya sebagai sistem kognitif (antropologi kognitif) itu. Istilah lain yg dipakai untuk memandang budaya sebagai sistem kognitif adalah "etnogrqfi baru", "ethnoscience", "ethnographic semantics”. Konsep ethoscience dari Goodenough adalah paradigma kebudayaan yang menyatakan bahwa kebudayaan tidak berwujud fisik, tetapi berupa pengetahuan yang ada pada manusia. Konsep ini mengkaji klasifikasi untuk mengetahui struktur yang digunakan untuk mengatur lingkungan dan apa yang dianggap penting oleh suatu etnik pendukung suatu kebudayaan. Kebudayaan dilihat sebagai suatu sistem yang terdiri atas pengetahuan, kepercayaan, dan nilai-nilai, yang ada dalam pikiran individu-individu dalam suatu masyarakat.
Budaya sebagai sistem kognitif, oleh Goodenough, merupakan studi tentang kognisi manusia dalam konteks budaya dan lintas-budaya. Kognisi diselidiki baik sebagai konten, atau pengetahuan, dan sebagai proses, seperti penalaran. Konteks budaya biasanya mencakup ontologi, lokasi geografis, bahasa, hubungan sosial, nilai-nilai, dan kepercayaan. Kognisi dipahami memainkan peran mediasi antara mempersepsikan dan mengkodifikasi/ mengklasifikasikan dunia, seperti pembentukan dan hubungan antar konsep, dan juga membimbing dan menghasilkan perilaku di dunia yang sama.
Dipengaruhi oleh paparannya terhadap metode linguistik formal, Ward menyadari bahwa tugas antropolog budaya adalah analog dengan tugas seorang ahli bahasa struktural yang mencoba menganalisis tata bahasa yang tidak tertulis. Budaya secara epistemologi berada dalam wilaya yang sama dengan bahasa (langue dari Sassure atau competence dari Chomsky), sebagai aturan-aturan ideasional/ bersifat abstrak. Bahasa adalah satu subsistem dari budaya, dan peneliti antropologi kognitif menduga bahwa metode-metode dan model-model linguistik (seperti: etik, emik, dll) juga digunakan dalam memahami fenomena budaya. Seperti yang ia katakan kemudian:
“Learning how to behave, it seemed to me, must be much like learning how to speak. For culturally appropriate behavior to be readily learnable, its content had to be reducible to organizational principles analogous to those of a language’s grammar. I presumed, therefore, that the methodological strategy of descriptive linguistics should be applicable to getting at those underlying principles. So I proposed as my doctoral dissertation project an exploration into the possibility of formulating a “grammar of social behavior” while doing ethnographic fieldwork” (Goodenough 2003: 3).
Dengan kata lain, ia ingin menghasilkan deskripsi "emik", daripada deskripsi “etik”. Paparan Goodenough terhadap metode linguistik struktural dan penerapan metode ini dalam mengerjakan kategori emik tentang pentingnya apa yang disebutnya "analisis komponen" dalam etnografi (Goodenough 1956 , 1967). Melalui analisis kontras terhadap istilah-istilah dalam domain tertentu (seperti terminologi kekerabatan), struktur semantik dari istilah-istilah itu terungkap. Seperti yang kemudian secara ringkas ia katakan, analisis komponen adalah "metode untuk membentuk dan menguji hipotesis tentang apa yang diartikan kata-kata" (Goodenough, 1970: 72). Alih-alih, ketika sesuatu dipelajari, budaya seperti bahasa, yang bukan apa yang dikatakan oleh penuturnya tetapi apa yang perlu mereka ketahui untuk berkomunikasi dengan satu sama lain, termasuk menyusun ucapan yang belum pernah dibuat sebelumnya, namun langsung dapat dipahami oleh orang lain.
Goodenough melihat bahasa dengan demikian harus dilihat sebagai satu jenis sistem budaya (Goodenough 1957, 1981a). Ini membawa pemahaman akan definisi budaya yang terdiri dari (1) kriteria untuk mengkategorikan fenomena sebagai rangsangan yang bermakna, (2) kriteria untuk memutuskan apa yang bisa, (3) kriteria untuk memutuskan bagaimana perasaan seseorang tentang sesuatu (preferensi dan nilai-nilai), (4) kriteria untuk memutuskan apa yang harus dilakukan tentang hal-hal, (5) kriteria untuk memutuskan bagaimana melakukan sesuatu, dan (6) keterampilan yang diperlukan untuk melakukan yang dapat diterima (Goodenough 1963a, hlm. 258-59).
B. Membaca Teori Goodenough dalam persepsi ruang Malind anim dan Dayak Ngaju
Suku bangsa Malind atau lebih dikenal dengan nama “Malind anim”(baca: orang Malind) adalah penduduk asli di kabupaten Merauke, provinsi Papua. Istilah “Malind” adalah sebuah istilah yang dikemukakan oleh para tetua adat Malind dalam sebuah pertemuan di kampung Wamby, distrik Okaba pada tanggal 24 Oktober 2006. Dalam wawancara pada 26 Oktober 2006, Menurut Bapak Yulianus Bole Gebze (alm) bahwa istilah yang tepat adalah “Malind” dan bukan “Marind”. Suku bangsa Malind anim dikenal sebagai suku yang sangat unik. Karena suku bangsa ini mendasarkan seluruh aktivitas kehidupan pada “Mayo”. Mayo adalah kepercayaan yang berdasar pada totemisme dan menjadi suatu pandangan tentang kehidupan. Orang yang percaya dan mengikuti Mayo disebut “Malind-anim”. Hal ini yang membuat sehingga suku bangsa Malind disebut Malind Anim. Untuk menjadi atau diakui sebagai anggota suku bangsa Malind, setiap anggota suku bangsa harus mengikuti upacara inisiasi yang terdiri dari empat tahap, yakni Mayo, Imoh, Ezam dan Sosom. Setiap anggota yang belum mengikuti inisiani ini disebut “Bulap anim” (orang yang belum diinisiasi). Sebutan ini berlaku juga untuk orang luar, dan juga Malind anim punya sebutan “Phu-anim untuk orang asing. Marind-Anim yang dikatakan oleh van Baal sendiri sebagai:
“…Marind-Anim yang bebas bepergian, humoris, menikmati apa yang ada, dari luar hampir tidak terkesan oleh dunia tak nyata yang begitu banyak menguras tenaganya, dan sikap realistik terhadap kehidupan sehari bersamaan dengan ritual yang rumit, magis, dan seremoni…”(Baal, 1961: 929).
Malind anim merupakan suku bangsa yang memiliki dialek bahasa yang beranekaragam, seperti dialek Imaz, dialeg Gawir dan lain-lain, dan kehidupan sehari-hari suku ini diwarnai oleh pembagian dalam marga-marga yang bersifat totemistis. Demikian suatu marga dari kelompok suku ini, dapat ditelusuri dari totem marganya. Jika totem marganya sama, maka mereka dianggap satu keturunan atau satu marga. Misalnya, jika pada kelompok suku Yei-nan terdapat marga Mekiw dan mempunyai Wati atau Piper methyscum (Dalam adat Malind anim, wati adalah suatu tanaman adat untuk acara ritual adat dan yang jika diminum dapat memberi ketenangan jiwa dan relax secara fisik), maka marga ini bersaudara dengan marga Ndikend yang terdapat di kelompok suku bangsa Malind dari suku Muli-anim, karena totemnya sama.
Sementara suku bangsa Dayak Ngaju adalah penduduk asli yang mendiami daerah aliran sungai Kahayan, Katingan, Rungan Manuhing, dan Kapuas atau sub etnis Dayak terbesar di provinsi Kalimantan Tengah yang persebarannya cukup luas dan utamanya terkonsentrasi di daerah Kota Palangka Raya, Kabupaten Pulang Pisau, Kabupaten Gunung Mas, dan Kabupaten Kapuas. Suku bangsa Dayak Ngaju berbahasa Ngaju. Menurut Tjilik Riwut ada 53 sub suku Dayak Ngaju (Tjilik Riwut, 2003: 63). Dalam beberapa literatur, Suku bangsa Dayak Ngaju dikenal dengan sebutan “Biaju”, yang artinya “dari udik” atau “dari udik” dalam bahasa Bakumpai (Schärer 1963: 1). Suku bangsa Dayak Ngaju merupakan salah satu sud suku bangsa Dayak yang termaju di provinsi Kalimantan Tengah dan provinsi Kalimantan Selatan dimana, berlaku untuk semua sub etnis Dayak, berasal dari langit ke tujuh, dan diturunkan ke bumi dengan menggunakan Palangka Bulau oleh Ranying Hatalla. Dalam kepercayaan Kaharingan, digambarkan manusia Dayak diturunkan dari langit ke tujuh ke bumi di empat tempat, yakni: (1) di Tatam Puruk Pamatuan, yang terletak di hulu sungai Kahayan dan Barito, (2) di Tantang Liang Mangan Puruk Kaminting, yang letaknya di sekitar Gunung Raya, (3) di Datah Tangkasiang, di hulu Sungai Malahui, yang terletak di daerah Kalimantan Barat, dan (4) di Puruk Kambang Tanah Siang, yang terletak di hulu Sungai Barito.
Ada berbagai pengetahuan dalam kebudayaan Malind anim dan Dayak Ngaju. Menurut Goodenpough, budaya lebih merupakan bukanlah suatu fenomena material. Budaya adalah bentuk hal-hal yang ada dalam pikiran (mind)manusia, model-model yang dipunyai manusia untuk menerima, menghubungkan, dan kemudian menafsirkan fenomena material di atas (Goodenough, 1957). Pertanyaanya, bagaimana membaca kebudayaan sebagai sistem kognitif dalam kebudayaan suku Bangsa Malind anim dan suku bangsa Dayak Ngaju?
Dalam kebudayaan suku bangsa Malind anim dan suku bangsa Dayak Ngaju, kita dapat melihat pada pengetahuan-pengetahuan asli (indigenous knowledge). Pada tulisan ini, penulis ingin merefleksikan pada pengetahuan ruang sebagai aspek antropologi kognitif dari kedua kelompok suku bangsa ini dimana mewakili dua kelompok etnis yang memiliki latar belakang migrasi dan ekosistem.
Dalam kebudayaan Malind anim, pengetahuan ruang Malind anim diajarkan secara verbal, lewat lagu dan cerita. Lagu dan cerita itu biasanya dikisahkan oleh Malind anim dalam pesta Yamu atau Yawema. Yamu atau Yawema adalah perta memperingati empat puluh hari meninggalnya seseorang. Dalam pesta itu, anggota komunitas Malind anim yang berduka akan bernyanyi dan bercerita di depan sep dari pukul 18.00 setelah matahari terbenam hingga 06.00 esok harinya. Penulis pernah mengikuti pesta ini di kampung Mambum di distrik Kimaam, dan kampung Bibikem di distrik Tubang, kabupaten Merauke. Dalam pesta itu, mereka mengkisahkan akan kepercayaan asal usul nenek moyang mereka. Ada tiga asal usul Malind anim. Pertama, clan Samkakai percayah bahwa mereka berasal dari Sandawi, sebuah pulau di Selat Tores (Australia). Dalam pesta Yamu atau Yawema, diceritakan sebagai berikut:
“Yano dari Marga Samkakai sesudah sampai di tempat yang disebut: Yawi-ah-Dahetok, atau dimana Yawi pulang yang (terletak di dekat kampung Wambi, distrik Tubang) ke tanah asalnya di Sandawi. Tandanya, dia memanah ke langit dengan anak panah yang disebut Ambata (baca: palang selatan), dan membentuk rasi bintang Ambata untuk menandakan kepada keturunannya dimana Yano berada sesuai janjinya kepada keturunannya”.
Dari kisah ini, Malind anim mempunyai sebutan untuk penduduk asli di wilayah Selat Tores dengan sebutan “Sandawi-anem ka kwitara” (yang berdiri itu adalah penguasa tanah selatan di sana Tuhan muncul juga. Atau “Ep-Kwitala-Weli-ah-Haua (dimana dia berdiri - dimana Weli/ Tuhan muncul). Kedua: clan Gebze dan Yolmend percayah bahwa leluhur mereka ’keluar dari dalam tanah’ di kampung Kondo, kampung di perbatasan Merauke (RI) dan PNG, lalu berjalan sampai ke Pulau Kimaam dan sungai Digoel. Malind anim selalu menyatakan bahwa teritorinya dari Kondo sampai ke Digoel. Kelompok ini adalah kelompok besar yang menggunakan “bahasa Kondo-lek mean”. Kelompok ini dipimpin oleh tokoh yang dikenal dengan nama “Palma” atau “Parmo”. Dan ketiga: kelompok suku Yey-nan/ Maloh-anim, Kanume, Marori, Mbian-anim, Kuni-anim (suku Boadzi di PNG). Kelompok ini dibawa pimpinan tokoh yang dikenal dengan nama “Nggiwe” atau “Ndiwa”.
Dari tiga asal usul di atas itu, Malind anim memiliki sebatan untuk masing-masing komunitas adat suku bangsa Malind anim yang dipetakan berdasarkan daerah aliran sungai dan atau tempat asal usul, misalnya Maroh-anim (orang sungai Maroh) adalah sebutan yang ditujuhkan kepada suku Yey-nan yang menjadi pemilik dan penjaga sungai Maroh; Mbian-anim (orang sungai Mbian) adalah sebutan yang ditujuhkan kepada komunitas adat Malind yang mendiami daerah aliran sungai Mbian (Malind mbian, Kuni-Malind atau Boadzi-anim) sebagai pemilik dan penjaga sungai Mbian yang memiliki hubungan dengan sungai Wembla (sebutan untuk Flye river di PNG); Woyu Maklew adalah sebutan untuk komunitas Malind anim yang mendiami wilayah dari sungai Mboraka hingga sungai Digoel. Woyu itu adalah sebuah sebutan untuk tempat sakral Malind anim yang terletak di hulu sungai Mboraka.
Selain itu, dari tiga asal usul itu, suku bangsa Malind anim memiliki dua istilah untuk penyebutan kampung-kampung komunitas adat Malind anim, yakni Es dan Mahai. Es, artinya “belakang” dimana menunjukan arah dari mana migrasi Malind anim, dan Mahai, artinya “depan” dimana menunjukan arah ke mana migrasi Malind anim.
Orientasi ruang banyak kelompok etno-linguistik (suku) didasarkan pada ekosistem di mana anggota kelompok itu lahir, dibesarkan, hidup dan dikuburkan. Hal ini dalam orientasi ruang orang Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah dimana mempresepsikan aliran sungai dari hulu (ngaju) ke hilir (ngawa). Ngaju dianggap lebih mulia dan lebih terhormat dari pada Ngawa. Berdasarkan orientasi ruang itu, rumah keluarga besar (betang) kepala suku didirikan di bagian hulu kampung, dan rumah turunan budak di bagian hilir. Sedangkan kamar kepala keluarga besar di betang itu juga di hulu betang itu. Betang itu sendiri, didirikan sejajar sungai. Berdasarkan orientasi hulu-hilir itulah orang Dayak menggambarkan tata letak pemukiman mereka. Kebetulan saja, hulu sungai-sungai di Kalimantan Tengah berada di bagian Utara sungai-sungai itu, di Pegunungan Schwaner & Muller.