ASG & EKOLOGI

DR. PETER AMAN, OFMCap

Direktur JPIC OFM INDONESIA

 

Pengantar

Pembangunan dan lingkungan hidup merupakan salah satu tema pokok dari Ajaran Sosial Gereja (ASG). Sebagai implementasi nilai-nilai Injili (Kerajaan Allah) untuk dunia kontemporer, ASG menawarkan gagasan-gagasan pokok seta nilai-nilai hakiki yang dapat dijadikan panduan untuk melakukan pembangunan serta upaya pemulihan ekologi.

Manusia merupakan tujuan pokok dari setiap upaya pembangunan. Selain itu, manusia adalah juga subyek (agen) pembangunan. Setiap upaya pembangunan pasti menyentuh bidang ekologi (lingkungan hidup) sebagai tempat berlangsungnya pembangunan dan obyek pembangunan. Bahkan dapat dikatakan bahwa manusia dan ciptaan dapat menjadi korban pembangunan. Karena itu manusia dan lingkungan berhubungan langsung dengan pembangunan. Dan karena itulah maka ASG menyumbangkan gagasan insoiratif, agar pembangunan dan ekologi dapat berjalan harmonis, dan manusia menimba kesejahteraan dari padanya.

Pembangunan Manusia Seutuhnya

Pembangunan merupakan upaya sistematis dan strategis dari setiap komunitas masyarakat (Negara) sebagai satu-satunya jalan menuju masyarakat sejahtera, adil dan makmur. Dalam masyarakat manapun pembangunan merupakan inti dari seluruh aktivitas dan hidup bermasyarakat. Dua komponen utama pelaku pembangunan adalah masyarakat (rakyat) dan pemerintah. Keduanya menjalankan peran dan fungsi berbeda untuk tujuan yang satu dan sama. Untuk konteks masyarakat Indonesia tujuan yang mau dicapai dalam pembangunan adalah keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia (sila kelima).

1.1. GBHN 1978 dan Populorum Progressio
Dalam konteks pembangunan di Negara Indonesia, tujuan pembangunan itu tidak bisa dipisahkan dari nilai-nilai lain yang merupakan satu kesatuan fundasi bangsa, yakni nilai spiritual (sila pertama), kemanusiaan (sila kedua) , kesatuan (sila ketiga), serta demokrasi politik (sila keempat). Mengapa demikian? Karena pembangunan yang mengena pada manusia sebagai tujuan utamanya, mesti mengintegrasikan pelbagai dimensi manusiawi lainnya, sebagai satu-kesatuan utuh. Manusia tidak dapat diperhatikan hanya dari salah satu dimensinya saja, tetapi sebagai suatu keutuhan. Kelima sila Pancasila merumuskan dengan apik dan utuh pelbagai nilai yang membingkai satu kesatuan utuh manusia sebagai pribadi.

Dalam visi pembangunan Indonesia, kita terbiasa dengan frase “pembangunan manusia yang seutuhnya”. Tap MPR No 4/MPR/1978 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara, menyatakan:
“Pembangunan Nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu dan berkedaulatan rakyat dalam suasana perikehidupan bangsa yang aman, tenteram, tertib dan dinamis serta dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka, bersahabat, tertib dan damai.

Berdasarkan pokok pikiran bahwa hakekat Pembangunan Nasional adalah Pembangunan Manusia Indonesia seutuhnya dan Pembangunan seluruh masyarakat Indonesia, maka landasan pelaksanaan Pembangunan Nasional adalah Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945”.

Menarik sekali bahwa rumusan mengenai tujuan dan landasan (asas) pembangunan yang ditemukan dalam GBHN kita amat sejalan, dengan apa yang dikatakan dalam ASG tentang pembangunan dan kesejahteraan umum. Bila kita mencermati lebih mendalam maka rumsan GBHN menegaskan sekurang-kurangnya dua hal pokok, yakni asas (fundasi etis-moral) pembangunan dan tujuannya yakni kesejahteraan umum.

Asas pembangunan kita adalah martabat pribadi manusia (Indonesia) dalam segala aspek dan dalam keutuhannya sebagai pribadi. Sedangkan yang ingin dicapai adalah kesejahteraan umum sebagaimana dirumuskan dalam tujuan pembangunan. Rumusan-rumusan di atas tentu amat diwarnai oleh konteks social dan politik Indonesia sebagai suatu Negara, namun nilai-nilai (isi) yang terkandung di dalamnya sejalan dengan apa yang dikatakan dalam ASG, sebagaimana kita baca dalam teks berikut.

“Perkembangan yang dibicarakan di sini tidak dapat dibatasi pada pertumbuhan ekonomi melulu. Supaya otentik perkembangan harus menyeluruh; harus memupuk perkembangan tiap manusia dan manusia seutuhnya. Seorang pakar ulung di bidang ini dengan tepat mengatakan, “Jangan kita biarkan ekonomi diceraikan dari kenyataan-kenyataan manusiawi, atau perkembangan dari peradaban yang menjadi gelanggangnya. Yang bagi kita penting ialah manusia – tiap manusia perorangan, tiap kelompok manusiawi, dan umat manusia secara keseluruhan” (Populorum Progressio 14) .

“Akan tetapi …. faham pengembangan ekonomi sendiri mengalami krisis. Kenyataan sekarang: ada pengertian yang lebih jelas, bahwa penimbunan harta-milik maupun jasa-jasa semata-mata, bahkan kalau menguntungkan mayoritas masyarakat pun, tidak cukup untuk mewujudkan kebahagiaan manusia” (SRS 28). “Ciri-ciri pembangunan sepenuhnya, yakni yang bersifat lebih manusiawi, dan mampu mewujudkan diri pada taraf panggilan manusiawi sejati tanpa mengingkari tuntutan-tuntutan ekonomis…” (SRS 28).

“Berdasarkan ajaran itu pengembangan tidak hanya berarti penggunaan, penguasaan dan pemilikan hal-hal tercipta maupun produk-produk kerajinan manusia sesuka hatinya. Tetapi pengembangan berarti terbawahnya pemilikan, penguasaan dan penggunaan semuanya itu kepada manusia selaku citra Allah, kepada panggilannya untuk hidup abadi. Itulah kenyataan manusia yang mengatasi segala ciptaan lainnya. Kenyataan itu sejak semula dimiliki bersama oleh sepasang manusia, pria dan wanita (bdk. Kej.1:27); maka pada dasarnya bersifat social” (SRS 29).

Teks-teks ASG ini senada maknanya dengan landasan pembangunan kita (Indonesia), yang melihat manusia secara utuh dalam kekayaan dimensinya. Manusia tidak bisa hanya dilihat hanya dari satu aspek (dimensi) saja, tetapi secara utuh serta seimbang. Kekayaan dimensi manusia merangkum pelbagai aspek seperti social, ekonomi, fisik (jasmani), rohani, politik, natural, kultural (seni dan budaya), dll.

Dengan demikian jika ingin merumuskan apa yang dimaksudkan dengan kesejahteraan umum, maka semua aspek itu mesti tercakup, sebagaimana dirumuskan dalam tujuan pembangunan dalam GBHN di atas. ASG pun merumuskan kesejahteraan umum dalam konsep yang utuh dan menyeluruh, sebagaimana bisa kita cermati dari dokumen-dokumen ASG berikut:

“Yang dimaksudkan dengan kesejahteraan umum ialah keseluruhan kondisi-kondisi hidup kemasyarakatan, yang memungkinkan baik kelompok-kelompok maupun anggota-anggota perorangan, untuk secara lebih penuh dan lebih lancar mencapai kesempurnaan mereka sendiri. Setiap kelompok harus memperhitungkan kebutuhan-kebutuhan serta aspirasi-aspirasi kelompok-kelompok lain secara wajar, bahkan kesejahteraan umum umat manusia” (GS 26).

“Supaya tujuan tercapai para pejabat pemerintah harus secara konkret berpedoman pada pandangan yang cermat tentang kepentingan umum. Mereka harus memperhitungkan semua kondisi social yang mendukung perkembangan pribadi manusia seutuhnya” (MM 65). Adalah tugas Negara untuk menciptakan kondisi-kondisi yang memungkinkan tercapainya kesejahteraan umum. “Maka Negara ada demi kesejahteraan umum, menemukan dasar keberadaannya sepenuhnya serta maknanya dalam kesejahteraan itu, dan mendasarkan hak kemandiriannya yang otentik padanya. Kesejahteraan umum mencakup keseluruhan kondisi-kondisi kehidupan social, yang memungkinkan orang-orang, keluarga-keluarga dan perhimpunan-perhimpunan mencapai kesempurnaan mereka secara lebih penuh dan lebih mudah” (GS 74)

1.2. Kesejahteraan Umum
Pandangan ASG amat jelas, baik menyangkut kesejahteraan umum maupun legitimasi kekuasaan (pemerintahan). Bahkan, ASG menegaskan bahwa dasar adanya Negara adalah demi kesejahteraan umum (bdk. GS 74). Untuk itu maka etika politik atau moralitas kekuasaan menjadi amat penting, mengingat adanya Negara didasarkan pada kodrat social manusia serta kesejahteraan umum. GS amat jelas menegaskan hal itu, “pelaksanaan kekuasaan politik baik dalam masyarakat sendiri, maupun di lembaga-lembaga yang mewakili Negara, selalu harus berlangsung dalam batas-batas tata-moral, untuk mewujudkan kesejahteraan umum yang diartikan secara dinamis, menurut tata-perundangan-undangan yang telah dan harus ditetapkan dengan sah” (GS 74).

Karena Negara ada untuk kesejahteraan umum, maka masyarakat tidak saja dituntut untuk berpartisipasi, tetapi juga melakukan kontrol dan koreksi terhadap praktek kekuasaan Negara yang melenceng dari prinsip-prinsip dan tujuannya. Martabat dan kewibawaan pemerintah terletak pada kapasitasnya mewujudkan kesejahteraan umum, bukan pada fakta berkuasa atas rakyatnya. Selain dituntut untuk berpartisipasi dan taat pada kebijakan pemerintah demi kesejahteraan umum, masyarakat berkuasa untuk mengganti pemerintahnya (demokrasi).

Apa yang dapat disimpulkan sampai di sini adalah bahwa ASG memberikan gagasan serta konsep bagi politik pembangunan yang terarah dan tertuju pada perwujudan kesejahteraan umum. Tak sepatutnya Gereja cuci-tangan dari pelbagai upaya sehat dan bermartabat demi pencapaian kesejahteraan umum. Bahkan harus dikatakan bahwa mewujudkan kesejahteraan umum merupakan bagian utuh dari peran dan tugas Gereja, yang lahir dari tugas perutusannya untuk mewartakan Kerajaan Allah.

“Setiap orang juga anggota masyarakat. Maka ia termasuk persekutuan manusia. Bukan hanya orang-orang tertentu saja, melainkan semua orang dipanggil untuk memajukan perkembangan masyarakat manusia secara keseluruhan. …. Kita mempunyai kewajiban terhadap semua orang. Oleh karena itu, kita tidak dapat mengabaikan kesejahteraan mereka yang akan menyusul kita untuk menumbuhkan bangsa manusia. Kenyataan solidaritas manusia tidak hanya membawa keuntungan, tetapi juga kewajiban” (PP 17).

1.3. Pewartaan Injil dan Pembangunan
Gereja mengajarkan bahwa kepedulian dan keterlibatannya untuk membangun masyarakat demi pencapaian kesejahteraan umum lahir dari iman akan Yesus Kristus dan tugasnya mewartakan serta menegakkan Kerajaan Allah di bumi. “Iman akan Kristus Penebus menjelaskan makna pengembangan sendiri, sekaligus menuntun kita dalam tugas kerjasama. … Selanjutnya pengertian iman dengan jelas menerangkan alasan-alasan yang mendorong Gereja untuk menggumuli masalah-masalah pengembangan, untuk memandangnya kewajiban pelayanan pastoral, dan untuk mendesak semua orang supaya memikirkan makna serta ciri-ciri pengembangan manusiawi yang sejati” (SRS 31).

Jadi ada hubungan tak terpisahkan antara tugas Gereja mewartakan Kerajaan Allah, atau mewartakan khabar gembira Injil dengan kepedulian dan keterlibatan nyata dalam pembangunan masyarakat demi mencapai pembangunan manusia yang sejati dan utuh. Paus Paulus VI mengatakan, “Mustahillah menerima bahwa dalam pewaraan Injil orang dapat atau harus tidak mau tahu menahu tentang pentingnya masalah-persoalan yang sekarang ini begitu banyak diperdebatkan tentang keadilan, pembebasan, perkembangan dan perdamaian dunia. Andaikata begitu, itu berarti melupakan pelajaran yang kita terima dari Injil tentang cinta kasih terhadap sesama yang sedang mendnerita dan serba kekurangan” (EN 31).

Konstitusi Pastoral Gereja juga menggariskan bahwa keterlibatan pada pembangunan dunia yang lebih manusiawi adalah konsekuensi atau implikasi praktis dari pewartaan Injil: “Ada pun misi khusus, yang oleh Kristus telah dipercayakan kepada Gereja-Nya, tidak terletak dalam bidang politik, ekonomi atau social, sebab tujuan yang telah ditetapkannya untuk Gereja bersifat keagamaan. Tentu saja dari misi keagamaan itu sendiri muncullah tugas, terang dan daya kekuatan, yang dapat melayani pembentukan dan peneguhan masyarakat manusia menurut Hukum Ilahi” (GS 43). Tak ada keterpisahan antara tugas mewartakan Injil dan mewujudkan keadilan dan kesejahteraan umum, “Kegiatan demi keadilan dan partisipasi dalam perombakan dunia bagi kami nampak sepenuhnya sebagai dimensi hakiki pewartaan Injil, atau, dengan kata lain, perutusan gereja demi penebusan umat manusia serta pembebasannya dari tiap situasi penindasan” (CU 6).

ASG memberikan visi, konsep, inspirasi dan motivasi bagi warga Gereja untuk terlibat membangun dunia. Dalam hal ini, kaum awamlah yang menjadi ujung tombak Gereja yang terlibat dalam membangun dunia menuju masyarakat adil, damai dan sejahtera. Orang Katolik tidak boleh melupakan bahwa mereka diutus ke dunia untuk memberi kesaksian tentang nilai dan perwujudan Kerajaan Allah di dunia. Tujuan akhir mereka adalah Kerajaan Allah, dan karena tujuan itu, maka mereka harus terlibat aktif membangun dunia; dan dengan terlibat aktif membangun dunia mereka akan semakin terdorong untuk mengarahkan hidup dan kegiatannya menuju perwujudan Kerajaan Allah, yang akan mencapai kesempurnaannya kelak di akhir zaman (GS 43). Adalah tugas kaum awam untuk membangun dunia dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai kerajaan Allah: keadilan, kasih, damai sejahtera, persaudaraan dan kesatuan (AA 7).

Gereja dan Negara memang memiliki peran berbeda serta perutusan yang tak sama, tetapi keduanya “kendati atas dasar yang berbeda, melayani panggilan pribadi dan social orang-orang yang sama. Pelayanan itu akan semakin efektif dijalankan keduanya demi kesejahteran umum …. Gereja … menyumbangkan bantuannya, supaya di dalam kawasan bangsa sendiri dan antara bangsa-bangsa makin luaslah keadilan dan cinta kasih. Dengan mewartakan kebenaran Injil, dan dengan menyinari semua bidang kegiatan manusia melalui ajarannya dan melalui kesaksian umat Kristen, Gereja juga menghormati dan mengembangkan kebebasan, serta tanggungjawab politik para warga Negara” (GS 76).

2. Ekologi
Sebagaimana sudah dikatakan di atas, pembangunan mengena terutama pada manusia (tujuan) dan bumi atau alam ciptaan (obyek). Adalah keyakinan umum bahwa demi mencapai kesejahteraan umum maka bumi mesti juga diolah. Mengolah bumi untuk kehidupan dan kesejahteraan manusia, selaras dengan mandat awali penciptaan yakni: menguasai dan menaklukkan bumi (bdk. Kej.1:28); mengelola dan mengusahakan bumi (bdk. Kej.2:15).

2.1. Mendorong Teknologi
Sepanjang sejarah, Gereja tidak saja mendukung, tetapi malah memelopori implementasi mandat awali penciptaan ini. Kehidupan monastic tidak terpisahkan dari tugas mengolah bumi. Prinsip hidup “ora et labora” (berdoa dan bekerja) lahir dari haribaan kehidupan monatik Gereja Katolik. Gereja bahkan terus menerus mendorong manusia untuk mengolah bumi yang merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Mengolah bumi adalah sumber harta milik. ASG mengakui adanya hak milik pada setiap orang, namun tetap mengingatkan ciri social dari harta milik. Sejak St. Ambrosius (abad 4) sampai ASG mutakhir ciri sosial harta benda tetap ditegaskan oleh Gereja.

Dalam arti itu, Gereja mendorong upaya pembangunan dengan mengoptimalkan pemanfaatan dan pengelolaan sumber-sumber alam demi kehidupan manusia. Gereja mendorong kemajuan teknologi yang semakin menolong manusia memperoleh hasil optimal dalam pengelolaan alam ciptaan. “Tetapi zaman sekarang ini, terutama berkat ilmu pengetahuan dan teknologi, ia telah dan tetap masih memperluas kedaulatannya atas alam semesta. … Dengan demikian banyak harta nilai, yang dulu oleh manusia terutama di harapkan dari kekuatan-kekuatan atas bumi, sekarang sudah diusahakannya melalui kegiatannya sendiri” (GS 33). Konsili Vatikan II memuji kemajuan IPTEK yang semakin memampukan manusia mengusai bumi demi pemenuhan kebutuhan kesejahteraannya.

Gereja menilai bahwa penguasaan alam bermakna positif untuk memenuhi kebutuhan sesama manusia dan tanda nyata keterlibatan Gereja dalam membangun dunia. “Maka jelaslah pewartaan kristiani tidak menjauhkan orang-orang dari usaha membangun dunia, pun tidak mendorong mereka untuk mengabaikan kesejahteraan bersama; melainkan mereka justru semakin terikat tugas untuk melaksanakan itu” (GS 34).

Sebenarnya persoalan lingkungan hidup sudah mulai disuarakan menjelang Konsili Vatikan II. Rachel Karson menerbitkan bukunya Silent Spring tahun 1962, di dalamnya dia menyuarakan persoalan lingkungan hidup yang timbul akibat revolusi hijau, terutama penggunaan pestisida yang membawa kematian banyak spesies hidup, terutama burung-burung . Carson menunjukkan bahwa bumi ini amat rentan dan tak digdaya menghadapi campur tangan berlebihan dari manusia. Carson sudah menulis saat itu bahwa pestisida (DDT) tidak saja berbahaya bagi lingkungan ciptaan tetapi juga mnenyebabkan penyakit pada manusia.

Seruan Carson belum bergema luas dan tidak terdengar dalam ruang-ruang di mana Konsili Vatikan II berlangsung. Mater et Magistra sudah sedikit menyinggung tentang bumi, tetapi lebih dalam konteks pemanfaatannya untuk hidup manusia (MM 196), dan mengingatkan agar kekuatan teknologi jangan sampai menghancurkan alam (MM 197). Demikian juga dalam dokumen tentang pembangunan (PP), perhatian terutama dicurahkan pada upaya untuk membangun demi kesejahteraan umum dan manusia seutuhnya, tanpa menyinggung tentang persoalan lingkungan hidup, yang dapat timbul karenanya.

2.2. Kritis tehadap Teknologi
Barulah pada tahun 1971, Gereja secara resmi menyatakan sikapnya terhadap persoalan lingkungan hidup yang merupakan dampak langsung dari pembangunan. Gereja mulai menyadari bahwa upaya pembangunan yang acak-acak dan tidak komprehensif serta tidak integrative justru dapat mengancam keberlangsungan kehidupan, bukan hanya manusia tetapi bumi seluruhnya (Bdk. OA 21). Sikap Gereja ini kemudian disampaikan dalam Konfrensi Lingkungan Hidup Pertama di Stolkholm(1972). Pernyataan Gereja Katolik di Stolkholm 1972 memperlihatkan keprihatinan terhadap degradasi lingkungan hidup akibat pembangunan yang menyebabkan bahwa bumi tidak bisa lagi menjadi rumah yang ramah bagi generasi masa depan. Sikap kritis terhadap teknologi disampaikan sambil mengingatkan bahwa pemanfaatan teknologi mesti disertai kesadaran moral agar teknologi tidak menghancurkan, Untuk itu diperlukan perubahan mental secara radikal.

ASG selanjutnya terus menerus mengingatkan manusia, agar memanfaatkan teknologi secara etis dan bertanggungjawab tidak saja untuk kehidupan manusia masa kini, tetapi juga di masa depan. Yohanes Paulus II (1979) mengingatkan bahwa kemajuan teknologi yang dicapai manusia justru membawa kepada “kesia-siaan” karena menjadi ancaman terhadap manusia dan membawa kehancuran kepada alam ciptaan. “Tidakkah kemajuan amat besar yang sebelum ini tak dikenal – dan berlangsung khususnya abad ini – di bidang kedaulatan manusia atas bumi sendiri menyingkapkan penaklukan ganda kepada kesia-siaan itu. Cukuplah mengingatkan akan kendala-kendala tertentu, misalnya ancaman pencemaran lingkungan alam di kawasan-kawasan industrialisasi yang pesat, atau konflik-konflik bersenjata yang setiap kali pecah lagi, atau prapandangan-prapandangan penghancuran diri dengan penggunaan senjata-senjata nuklir, zat air (hydrogen), neutron dan sebagianya….” (RH 8). Beliau mengingatkan bahwa kemajuan pesat yang dicapai manusia menuntut “perkembangan moralitas dan etika yang sepadan” (RH 15).

Teknologi semakin mempercepat pengambilan sumber-sumber alam untuk hidup manusia. Bahkan kecenderungan untuk mengeruk sumber daya alam secara tak terbatas seolah-olah menjadi kaidah dari sikap serta perilaku manusia terhadap alam. Gereja mengingatkan perlunya kesadaran dan praksis keugaharian, karena ketersediaan sumber-sumber alam bukannya tidak terbatas (SRS 26). Pembangunan tidak bisa direduksi hanya pada ekonomi (ekonomisentris). Pembangunan harus merupakan wujud tanggungjawab manusia terhadap karunia dan panggilan Allah. dengan pembangunan alam ciptaan harus dipelihara dan dijaga, karena pembangunan sejati berarti memanfaatkan ciptaan sebagai citra Allah, yang mengabdi kepada hidup abadi, bukan hidup fana. Harta bukan untuk diri sendiri, tetapi untuk kesejahteraan bersama (SRS 29). Karena itu pembangunan harus juga berarti meningkatkan perhormatan manusia terhadap ciptaan (SRS 34).

2.3. Perubahan Gaya Hidup
Perkembangan baru dalam dunia ekonomi, membawa serta bukan saja kemajuan ekonomi, tetapi juga kehancuran dan kerusakan lingkungan hidup. Pembangunan direduksi hanya pada ekonomi. Demi keuntungan ekonomi teknologi dimanfaatkan untuk mengexploitasi alam secara sembrono. Kemajuan ekonomi menghasilkan akumulasi harta dan manusia jatuh ke dalam bahaya konsumerisme. “Dari pilihan-pilihan pelbagai hasil produksi dan barang-barang konsumsi nampaklah kebudayaan tertentu, yang mencerminkan visinya tentang keseluruhan hidup. Dari situlah muncul gejala konsumerisme. …bila yang langsung dianut ialah selera-selaranya sendiri, sedangkan kenyataan pribadi yang berakal budi dan bebas tidak dihiraukan. Dapat muncul sikap-sikap konsumeristis dan corak-corak hidup yang secara obyektif tidak pantas atau merugikan kesehatan jiwa-raga” (CA 36).

ASG mensinyalir bahwa di balik hasrat manusia mengeruk sumber-sumber alam, akibat dorongan konsumerisme, tersembunyi kemerosotan manusiawi menyangkut akal sehat (budi) dan etika (moral) serta kesadaran religious (spiritual). Manusia dengan pongah mengangkat dirinya sebagai tuan atas ciptaan dan karena itu “mengira boleh semaunya sendiri mendaya-gunakan bumi dan menikmati hasilnya, dengan menaklukkannya tanpa syarat kepada kehendaknya sendiri, seolah-olah bumi tidak mengemban tuntutan serta maksud tujuannya semula yang diterimanya dari Allah, … Manusia bukannya menjalankan tugasnya bekerja sama dengan Allah di dunia. Ia justru malahan mau menggantikan tempat Allah, dan dengan demikian akhirnya membangkitkan pemberontakan alam, yang tidak diaturnya tetapi justru disiksanya” (CA 37; SRS 34).

Dalam Pesan Perdamaian (1 Januari 1990) Yohanes Paulus II secara khusus mengangkat tema ekologi, di mana beliau mengaitkan sikap hidup spiritual dengan sikap terhadap alam ciptaan: “Berdamai dengan Allah Pencipta, Berdamai dengan seluruh Alam Ciptaan”. Ada empat pokok yang beliau ajukan dalam dokumen itu. Pertama, alam ciptaan diciptakan Allah baik adanya. Alam diserahkan kepada pemeliharaan dan tanggungjawab manusia. Kerusakan alam sekarang ini adalah bukti nyata ketidaksetiaan dan ketidaktaatan manusia kepada mandat awal penciptaan. Kedua, kerusakan alam sekarang ini adalah bukti nyata kemerosotan moral manusia masa kini. Kemerosotan moral terindikasi nyata dalam memudarnya sikap hormat terhadap kehidupan dan hilangnya tanggungjawab untuk merawat alam yang berakibat hilang pulalah tanggungjawab terhadap sesama manusia. Ketiga, Paus menawarkan pemikiran jalan keluar dengan mempelajari kembali tatanan alam agar manusia menyesuaikan sikap dan perilakunya dengan tatanan alam, sambil meningkatkan tanggungjawab terhadap keadilan, karena semua manusia berhak untuk dihidupi oleh sumber hidup yang berasal dari alam. Keempat, dibutuhkan solidaritas baru, yang mencakup segenap bangsa serta perubahan gaya hidup (konsumerisme), serta konsep pembangunan yang terintegrasi dengan lingkungan (sustainable development). Kelima, tanggungjawab memulihkan dan merawat alam adalah tanggungjawab seluruh umat manusia.

2.4. Tanggungjawab Bersama: Ekologi dan Orang Miskin
Paus Benediktus XVI juga mengangkat tema ekologi dalam Pesan Perdamaian Dunia (1 Januari 2009). Beliau menegaskan bahwa dunia yang damai baru akan terwujud jika manusia juga “berdamai” dengan ciptaan. Sikap manusia yang dikritik adalah konsumerisme yang melahirkan eksploitasi alam serta konflik dan ketidakadilan. Benediktus XVU juga berbicara tentang ketidakadilan terhadap generasi yang akan datang. Perebutan sumber-sumber alam menjadi penyebab utama dari pelbagai konflik pada masa kini, baik pada level lokal-nasional, maupun internasional. Beliau mengingatkan kembali bahwa “melindungi lingkungan dan membangun bumi yang damai merupakan tugas semua orang” (no. 14).

Dalam ensiklik Caritas in Veritate (2009) Benediktus XVI juga menegaskan konsernnya pada lingkungan hidup, beliau menyampikan sejumlah hal: (1) manusia perlu mencermati “gramatika” lingkungan hidup, karena dengan memahaminya manusia dapat menyesuaikan diri dan hidupnya selaras dengan gramatika alam. Namun beliau juga mengingatkan agar alam dan manusia dilihat sebagai satu kesatuan ciptaan, di mana manusia memiliki tempat khas dan bahwa alam tidaklah lebih utama dari manusia (CIV 11). (2) Manusia diminta untuk menjadi pemelihara alam, agar menikmati hasilnya dan mengolahnya dengan cara-cara baru yang berkelanjutan (CIV 12). (3) Untuk itu amat dibutuhkan perubahan gaya hidup yang mesti lahir dari perubahan mental (CIV 13). (4) Ada sejumlah hal penting lain yang diangkat Benediktus XVI, yakni: keadilan antar-generasi (CIV 14); solidaritas internasional dan solidiaritas yang mencakup ruang dan waktu (CIV 15).

Dengan memilih nama Fransiskus, Paus sudah mengisyaratkan bahwa lingkungan hidup akan menjadi salah satu tema pokok dalam masa kepausannya. Tiga hari setelah terpilih (16 Maret 2013) beliau menjelaskan sosok Fransiskus Assisi sebagai “pencinta orang miskin. pelindung dan pencinta alam ciptaan”. Beliau menghubungkan perlindungan terhadap manusia dan perlindungan terhadap ciptaan, sebagai dua hal tak terpisahkan. “Segala sesuatu dipercayakan kepada kita untuk dilindungi dan itulah tanggungjawab kita bersama”. 5 Juni 2013 dalam peringatan hari Lingkungan Hidup, beliau mengeritik konsumerisme dan budaya pemborosan. Ia menyerukan agar dibangun semangat solidaritas yang menjadi landasan bagi tanggungjawab bersama untuk bumi dan semua manusia dalam keluarga manusiawi. Dalam kotbah Minggu Paskah 2013 beliau mengingatkan bahwa manusia adalah sarana yang dengannya Allah menyirami bumi, melindungi semua ciptaan, melakukan keadilan dan menumbuhkan perdamaian. Ia mendesak Gereja Amerika Latin untuk memperhatikan kondisi lingkungan Amazon dan warga suku asli Indian di sana.

Dalam Surat Anjuran Apostolik Evangelii Gaudium beliau mengingatkan perlunya perhatian dan tanggungjawab terhadap bumi yang ringkih, di mana kita semua hidup, demikian juga makhluk ciptaan lainnya. Beliau mengingatkan bahwa kerusakan lingkungan hidup membawa derita lebih besar kepada orang-orang miskin. Bahaya konsumerisme dikecam dan berhala uang yang menjadi spirit manusia masa kini harus dibayar mahal oleh manusia masa kini dan masa depan, yakni kerusakan alam yang makin sulit dipulihkan. Ketidakadilan, akumulasi harta, marjinalisasi dan pemiskinan membawa serta persoalan lingkungan, baik untuk manusia masa kini maupun di masa depan. Dalam EG beliau membahas isyu lingkungan hidup secara terbatas, karena kemudian beliau secara khusus menerbitkan ensiklik tentang lingkungan hidup Laudato Si (24 Mei 2015).

Dibutuhkan kesempatan khusus untuk membahas ensiklik Laudato Si, yang penting ini. Namun beberapa hal dapat disampaikan di sini, yakni hal-hal yang relevan dengan topik pembahasan tentang pembangunan dan ekologi. Pertama, diingatkan bahwa ada yang salah pada manusia (pemahaman tentang diri dan tindakannya, serta konsep (ideology) pembangunan yang ternyata lebih membawa mudarat daripada manfaat, terutama kerusakan dan dis-integrasi lingkungan hidup, yang melahirkan masalah: polusi dan perubahan iklim, masalah air, hilangnya keanekaragaman hayati, penurunan kualitas hidup manusia dan social serta ketimpangan global. Kedua, kerusakan alam disebabkan oleh manusia yang tidak peduli pada kehendak Allah (Pencipta), tidak mencermati misteri atau rahasia serta hukum-hukum alam, ekosistem, kesatuan universal ciptaan, ciri social harta benda serta sentralitas Yesus dalam seluruh ciptaan. Ketiga, hal itu terutama dipicu oleh antroposentrisme, teknologi nir-nilai (etis-moral), globalisasi ekonomi (neoliberalisme) yang mendorong eksploitasi alam. Keempat, ada keterkaitan (kesatuan) antara alam ciptaan dan manusia. Kelima, sejumlah pedoman yang dapat mengantar manusia keluar dari krisis ekologi. Keenam adalah perlunya pendidikan dan spiritualitas ekologis.

Penutup

Saripati dari pembahasan ASG tentang hubungan antara pembangunan dan ekologi dapat dirumuskan dalam sejumlah pokok berikut. Pertama, pembangunan sebagai upaya manusiawi harus tertuju kepada kepentingan manusia seutuhnya dan seluruhnya (kesejahteraan umum). Pembangunan mesti mengindahkan keluhuran martabat manusia sebagai mahkotanya. Kedua, sebagai upaya bersama suatu masyarakat, maka pembangunan merupakan pekerjaan dan tanggungjawab bersama (pemerintah dan masyarakat). Solidaritas dan subsidiaritas merupakan roh dari pembangunan sejati, selain demokratisasi dan partisipasi.

Ketiga, Gereja mengajarkan bahwa membangun masyarakat manusia yang sejahtera selaras dengan tugas perutusan Gereja mewartakan Injil Kerajaan Allah demi kebaikan, keselamatan serta kesejahteraan manusia lahir batin. Tidak ada pertentangan antara tugas Gereja mewartakan Injil dengan partisipasinya baik secara nyata maupun dengan sumbangan gagasan serta konsep, dalam memajukan pembangunan.

Keempat, pembangunan manusiawi yang sejati tidak bisa mengabaikan keutuhan dan pemeliharaan ciptaan, karena manusia yang sejahtera hanya dapat hidup dan berkembang dalam lingkungan hidup yang kondusif bagi kehidupan dan keberlangsungan pembangunan yang manusiawi. Karena itu melalui ASG Gereja mendorong dan mendesak agar pembangunan harus juga meperhatikan keutuhan ciptaan. Mengabaikan keutuhan ciptaan berarti menghancurkan pembangunan manusiawi itu sendiri.

Kelima, agar tercapai pembangunan yang manusiawi dan ekologis, maka manusia harus mengendalikan diri dari hasrat akan akumulasi harta yang membawa dampak buruk pada mutu hidup manusia dan mutu social manusia. Pengembangan diri manusia sejati tidak diukur oleh harta dan besarnya kepemilikan kekayaan, tetapi kebahagiaan dan kedamaian hidup yang hanya tercapai jika seluruh aspek dan dimensi kehidupan manusia diperhatikan secara utuh dan seimbang. Tanpa itu, pembangunan akan memakan korban manusia itu sendiri.