PLD Dayak: Ketika Pembangunan Kembali ke Tangan Masyarakat

 

Di tengah derasnya proyek pembangunan yang datang dari luar, masyarakat Dayak di Kalimantan pelan-pelan merumuskan sesuatu yang lebih mendasar: pembangunan yang dimulai dari cerita mereka sendiri. Bukan dari dokumen pemerintah, tetapi dari pengalaman hidup di antara hutan, sungai, tanah, dan leluhur. Inilah People-Led Development (PLD), pembangunan yang tidak lahir dari meja rapat, tetapi dari tubuh komunitas.

Dalam worldview Dayak, pembangunan tidak pernah terpisah dari hubungan manusia dengan alam. Hutan adalah kerabat, sungai adalah penjaga hidup, dan benih adalah memori leluhur yang mesti dirawat. Ketika banyak program luar datang dengan angka-angka dan indikator yang kaku, orang Dayak memulai dari pertanyaan yang lebih manusiawi: apa yang ingin kita jaga? Apa yang ingin kita wariskan?

Di sinilah PLD menjadi jalan dekolonial yang sangat kuat. Ia menolak cara pikir kolonial yang selama berabad-abad memandang masyarakat adat sebagai objek yang perlu diajari. Sebaliknya, PLD mengakui bahwa masyarakat Dayak sudah memiliki pengetahuan, aset, dan struktur sosial yang mampu membangun masa depannya sendiri. Tugas pendamping hanyalah memfasilitasi, bukan mengatur; mendengar, bukan mengarahkan.

Melalui PLD, masyarakat menemukan kembali kekuatan handep,  solidaritas komunal yang menjadi jantung kehidupan Dayak. Anak muda memimpin pemulihan benih lokal, perempuan menghidupkan kembali ladang sebagai ruang belajar, para tetua menjaga ritus spiritual dan etika ekologis. Semuanya bergerak dalam satu tujuan: agar lewu tetap hidup dan bermartabat di tengah ancaman tambang, sawit, dan proyek-proyek besar yang menggerus ruang hidup.

PLD bukan sekadar metode pembangunan. Ia adalah pernyataan: bahwa masyarakat Dayak bukan pewaris penderitaan kolonial, tetapi pemilik masa depan mereka sendiri.