DINAMIKA BISNIS DAN HAM DI MASA PANDEMIC COVID-19

 

Palangka Raya, 8 Juni 2020 – Ancaman pandemi Covid-19 di Indonesia justru dimanfaatkan oleh oligarki menjadi peluang bisnis. Korporasi industri perkebunan, pertambangan, dan kehutanan masih terus beroperasi yang bahkan dibantu pemerintah dengan berbagai keringanan mulai dari pajak. Padahal, kelompok informal dan masyarakat miskin adalah kelompok paling terdampak korona.

Hal itu terungkap pada serial webinar yang dilaksanakan oleh Justice, Peace, and Integrity of Creation (JPIC) Kalimantan bersama Yayasan Pusaka Bentala Rakyat di Palangkaraya, Senin (8/6/2020). Hadir sebagai pemateri dalam seminar daring itu, Ketua Direktur Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL) Emil Ola Kleden, Kepala Bidang Pencegahan dan Penaggulangan Penyakit Dinas Kesehatan Provinsi Kalteng dr. Endang Narang, perwakilan dari Komisi HAM Antar Pemerintah ASEAN Yuyun Wahyuningrum, Deputi Direktur Advokasi ELSAM Andi Mutaqien, dan Ketua Jurnalis Bencana dan Krisis Indonesia Ahmad Arif.

Endang menjelaskan situasi di pandemi di Kalteng terus meningkat di mana kasus korona mencapai 494 kasus dari sebelumnya 481 kasus.Tingkat penularan (RT) pun untuk Kalteng mencapai 1,42 artinya satu orang mampu menularkan satu sampai dua orang.

Dengan kondisi demikian, kluster baru pun bermunculan pada sektor industri pun demikian. Pihak Dinas Kesehatan baru-baru ini melaksanakan pemeriksaan masal untuk semua karyawan dan buruh PT. Indo Muro Kencana di Kabupaten Murung Raya.

“Musuh kita ini tidak terlihat, jadi harus ada upaya untuk memperkuat imunitas diri kita masing-masing,” ujar Endang Narang.

Selain itu, bisnis padat karya banyak merumahkan bahkan mengurangi jumlah karyawan dalam jumlah besar. Sementara pada sisi lain, ada pula perusahaan yang mencari karyawan baru. Dua sisi yang bertolak belakang, bahkan dilematis. Pada bagian lain, ada pula bisnis yang tetap mempekerjakan karyawannya ditengah pandemi virus Corona.

Melihat hal itu, Emil Ola Kleden melihat ketidakseriusan pemerintah dalam menangani pandemi digangg oleh kepentingan oligarki. Celah-celah pelanggaran terbuka lebar di sekitar wilayah konsesi.

“Intevensi kapitalis itu membuka selubung-selubung alam sehingga penyakit yang tadiny ada di penghuni hutan menyeberang ke manusia. Titik itu tidak pernah diperhatikan oleh penguasa,” ungkap Emil.

Ceah-celah pelanggaran yang dilihat oleh Emil seperti rapat virtual untuk mendapatkan persetujuan dari masyarakat atas usulan-usulan perusahaan, misalnya pelepasan tanah adat, penerbangan hutan di areal kandungan karbon tinggi; ekspansi ke Wilayah kaya keanekaragaman hayati; dan berbagai usulan yang berpotensi menghilangkan hak dasar masyarakat.

Rapat virtual bisa saja terjadi hanya dengan beberapa tokoh masyarakat yang diundang melalui WA atau telpon atau email ke jaringan pribadi tanpa diketahui warga kampung/ MHA

Tanda tangan elektronik dari masyarakat di atas surat yang dibuat perusahaan,” ungkap Emil.

Situasi pandemi, lanjut Emil, dijadikan alasan untuk tidak dapat menindaklanjuti hasil kesepakatan atau perjanjian sebelumnya; misalnya untuk langkah pemulihan (remedy) atas kerusakan yang ditimbulkan oleh operasi perusahaan.

Yuyun Menambahkan, pemberlakukan situasi darurat telah berimbaas pada hak-hak mendapatkan informasi. Pemerintah Indonesia sudah tidak terbuka soal data di awal mengumumkan temuan kasus pertama kali.

Penutupan akun media sosial, penyebaran akun palsu, penangkapan mereka yang berkomentar mengenai respon pemerintah dalam COVID-19 dan banyak lagi,” ungkap Yuyun.

Menurut Yuyun, penutupan informasi menjadi celah besar pelanggaran HAM terjadi. Ia juga menyebutkan pernyataan berbahaya dari beberapa negara ASEAN: karena sedang krisis (atau negara dalam keadaan darurat) maka HAM bisa dikesampingkan

Hal senada juga diungkapkan Andi Mutaqien. Menurutnya, korporasi maupun pemerintah perlu melihat lagi kewajiban terhadap negara yakni soal menghormati, melindungi, dan memenuhi hak masyarakat.

Normal baru

Ahmad Arif melihat, Indonesia belum saatnya menerapkan normal baru. Istilah yang digunakan seharusnya adalah norma baru karena dilihat dari sisi manapun, negara belum mampu menyelesaikan pekerjaan rumahnya seperti pemeriksaan masal yang masih rendah, penapisan, hingga kebijakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang terdampak.

“Yang perlu dibantu adalah sektor informal dan masyarakat miskin bukan para pengusaha besar, logika anti sains ini justru dimaikan oleh pemerintah,” kata Ahmad Arif.

Ahmad Arif menjelaskan, Indonesia masih yang paling rendah melakukan penapisan atau pemeriksaan masal, Dari sisi itu bisa dilihat Indonesia masih akan berlarut-larut dengan pandemi.

“Ekonomi seburuk apapun bisa dipulihkan, kematian tidak bisa dibangkitkan,” ujar Ahmad Arif.

***Selesai***