REVIEW DINAMIKA PEMENUHAN HAK DAN DEMOKRASI DI KALTENG

 

Palangka Raya, 2 Juni 2020 – Perjuangan pemenuhan hak dan demokrasi di Kalimantan Tengah masih terbentur kepentingan pengusaha dan penguasa. Seperti di Desa Penyang, Kabupaten Kotawaringin Timur di mana tiga warganya harus berbenturan dengan hukum karena dianggap mencuri di ladangnya sendiri.

Hal itu dibahas dalam serial webinar yang diselenggarakan oleh Justice, Peace and Integrity of Creation (JPIC) Kalimantan dan Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Selasa (2/6/2020). Diskusi tersebut membahas tema tentang Membedah Dinamika Pemenuhan Hak Pegiat HAM dan Lingkungan di Kalimantan Tengah. Tiga nara sumber yang hadir, yakni pengampanye hutan dari Greenpeace, Arie Rompas, Koordinator Komite Nasional Serikat Perempuan (Seruni) Kalteng, Kartika, dan Peneliti HAM juga wartawan senior Andreas Hartono.

Arie Rompas dalam paparannya menyampaikan, dinamika perjuangan hak dan demokrasi di Kalteng tidak terlepas dari masifnya eksploitasi sumber daya alam. Dari total 15,3 juta hektar luas provinsi tersebut, sekitar 9,8 juta hektar sudah masuk dalam perizinan konsesi.

“Setiap perizinan itu melibatkan pengusaha dan penguasa, atau hanya segelintir orang saja. Itu terbukti dari banyaknya kepala daerah yang bermasalah dengan hukum selalu berkaitan dengan eksploitasi sumber daya alam,” kata mantan Direktur WALHI Kalteng tersebut.

Arie menambahkan, begitu besarnya wilayah Kalteng yang dieksploitasi kemudian mereduksi bahkan meenghilangkan hak-hak dasar masyarakat, apalagi masyarakat adat. Hutan yang menjadi sumber penghidupan dikonversi menjadi perkebunan yang dikuasai oleh raja-raja kecil.

Salah satu contoh perampasan hak di Kalteng terjadi di Desa Penyang, Kabupaten Kotawaringin Timur di mana hingga kini tiga orang warganya berada di penjara karena memperjuangkan hak tanah dan air mereka. Bahkan, James Watt yang merupakan paralegal juga pejuang lingkungan juga dikriminalisasi.

“Padahal instrument hukum sudah jelas mengatakan kalau pejuang lingkungan tidak bisa dipidanakan, ini malah dituduh memberikan perintah mencuri sawit,” kata Arie.

Dalam konflik di Penyang, warga mempertahankan wilayahnya seluas 117 hektar yang berada di luar Hal Guna Usaha (HGU) dari salah satu perusahaan perkebunan sawit di Kalteng.

Perjuangan dan upaya menyuarakan kondisi yang terjadi di lapangan kadang berbenturan dengan hal-hal yang bersifat struktural. Pada kasus sengketa agraria, masyarakat diminta membuktikan keabsahan kepemilikan. Hal yang mustahil dipenuhi oleh masyarakat yang berpijak pada pengetahuan lisan.

Pada bagian lain, kesempatan untuk mendapatkan pengetahuan tentang perubahan aturan hukum tidak dilakukan dengan baik. Kegiatan penyampaian informasi terkait perubahan aturan dilaksanakan hanya kepada elit, pelibatan masyarakat menjadi minimal bahkan tidak ada. Meskipun pada akhirnya, elit tidak memberikan informasi yang sama dan seimbang kepada yang lain.

Dalam proses akses informasi, jurnalis pun kerap menjadi sasaran penguasa untuk dibungkam. Hal itu disampaikan Andreas Harsono dalam pemaparannya.

Menurut Andreas, jurnalis merupakan salah satu pilar media yang seharusnya dilindungi. Namun, masih banyak jurnalis yang dikriminalisasi dan dipersulit dengan birokrasi yang berbelit.

Ia mengambil contoh kasis Diananta, Pimpinan Redaksi Banjarhits.com yang merupakan mitra kerja Kumparan.com. Dewan Pers bahkan sudah memberikan rekomendasi agar tidak ditahan karena beritanya sudah ditarik dan diklarifikasi namun hingga kini Diananta masih ditahan.

Lalu jurnalis Amerika dari Mongabay.com yang pernah ditahan di Palangkaraya hanya karena persoalan visa. Menurut Andreas membuat visa untuk wartawan di Indonesia membutuhkan izin dari setidaknya 18 kementerian dan lembaga di Indonesia.

“Padahal perjuangan hak asasi manusia itu diperhatikan oleh dunia internasional tetapi untuk bisa meliput di Indonesia wartawan masih kesulitan,” ungkap Andreas.

Andreas menambahkan, saat ini lembaga pejuang HAM dan media perlu diperkuat. “Yang lemah dari mereka (lembaga HAM dan jurnalis) adalah sumber dana,” ujarnya.

Pendidikan dan Perempuan

Kartika pun mengukapkan bagaimana sulitnya masyarakat yang hidup di sekitar tambang maupun perkebunan sawit untuk mengakses pendidikan. Mereka yang melek pendidikan mau tidak mau harus keluar dari lingkaran kehidupan di sekitar konsesi.

“Masih banyak perusahaan yang belum menyediakan akses untuk anak-anak ke sekolah, ini persoalan hak dasar yang sering kami temui,” katanya.

Perempuan, lanjut Kartika, pun selalu menjadi korban pada kehidupan di sekitar konsesi. Masih banyak buruh yang dipersulit ketika meminta izin absen bekerja lantaran hamil atau menstruasi. Resikonya adalah pemotongan gaji.

“Ini jadi bencana dua kali untuk perempuan, kebutuhan dasar mereka sangat sulit dipenuhi dan kehidupan di sekitar konsesi sangat tidak ramah perempuan dan anak,” ungkap Kartika.

Diskusi daring tersebut masih akan dilanjutkan dengan tema-tema spesifik lainnya. Permasalahan seputar hak masyarakat adat, kebakaran hutan dan lahan, hingga situasi pandemik Covid-19 masih akan jadi perbincangan hangat selanjutnya.

Demikian rilis media ini dibuat untuk dipublikasikan ke khalayak agar informasi terkait dinamika perjuangan hak dan demokrasi di Kalteng bisa mencuri perhatian bersama. Komitmen untuk memperjuangkan HAM dan demokrasi itu juga ada di tangan kita semua.